BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Masalah
Perkembangan
pemahaman untuk menerapkan nilai-nilai Al-Qur’an dalam setiap
aspek semakin berkembang sesuai dengan perkembangan ilmu pegetahuan, teknologi dan
perubahan social yang terjadi. Hal ini tidak terlepas dari situasi
dan kondisi yang berlangsung. Nilai-nilai yang di terapkan tersebutmerupakan
suatu kekuatan yang dinamis dan kreatif. Karena sesuai dengan sosio kultur
dan sosio politik yang sedang terjadi saat itu.
Salah
satu perkembangan pemahaman yang sampai saat ini terjadi topik hangat
adalah penegasan dari sebuah konsepsi mengenai sistem politik Islam, yang
dalam ini adalah pencarian tentang konsep negara. Masalah ini kian makin
komplek karena tatkala konsep negara bangsa ( nation state ) yang berasal
dari barat berpengaruh di praktekkan dalam
lingkungan Islam. Menurut Ali
Abdul Raziq tentang konsep negara ialah sekuler yaitu : kejayaan dan kemakmuran
dunia islam dapat terwujud bukan dengan kembalikeajaran Islam yang lama dan
bukan dengan mengadakan reformasi atau pembaharuan ajaran Islam tetapi
dengan perubahan total yang bernapaskansekuleristik, bahwa negara yang
diperlukan oleh umat manusia bukanlah negara agama melainkan negara duniawi.
Sekularisme Ali Abdul
Razik yang lebih menekankan totalitas ajarannya. Merupakan pemikiran politik
yang sangat patut untuk di kaji lebihlanjut untuk mengetahui letak kekuatan dan
kelemahan argumentasi yang dikemukakan oleh pemikir politik Islam tersebut.Untuk itulah penulis merasa perlu untuk lebih
mengetahui kerangka acuan atau argumentasi dalam upaya mewujudkan kerangka
ideal masyarakat yang di lakukan oleh pemikir tersebut.
B. Rumusan Masalah
Dari latar belakang diatas, rumusan masalah
dalam pembahasan makalah ini adalah :
1.
Siapa Ali
Abdul Al-Raziq?
2.
Apa Karya-Karya
Monumental Ali Abd Al Raziq?
3.
Bagaimana Pandangan Ali Abd Al Raziq tentang
Khalifah?
4. Bagaimana Konsep Negara menurut Ali Abd
Al Raziq?
C. Tujuan
Dari rumusan masalah diatas, tujuan dalam pembahasan
makalah ini adalah :
1.
Untuk
mengetahui Siapa Ali Abdul Al-Raziq.
2.
Untuk
mengetahui Apa Karya-Karya Monumental Ali Abd Al Raziq.
3.
Untuk
mengetahui Bagaimana Pandangan Ali Abd Al Raziq tentang Khalifah.
4.
Untuk
mengetahui Bagaimana Konsep Negara menurut Ali
Abd Al Raziq.
BAB II
PEMBAHASAN
A. BIOGRAFI
ALI ABD AL-RAZIQ
Ali Abd al-Raziq lahir di Menya, Mesir. Pada tahun 1888 dan wafat tahun
1966. Dia adalah seorang tokoh fiqhi siyasiy (politik) dari Mesir, khususnya
politik hukum dan pemerintahan dalam Islam.
Ayahnya bernama Hasan al-Raziq, seorang pasha (keturunan bangsawan) yang mempunyai pengaruh yang cukup besar di daerahnya. Ia seorang aktivis politik serta menjabat wakil ketua Hizbul Ummah (Partai Kebangsaan) pada tahun 1907, dan berhubungan erat dengan pemerintah kolonial Inggris. Ayahnya ini adalah teman dekat Muhammad Abduh. Meski Ali Abd al-Raziq adalah putra dari seorang sahabat Muhammad Abduh, tetapi karena masih kecil sehingga ia tidak sempat berguru padanya.
Ayahnya bernama Hasan al-Raziq, seorang pasha (keturunan bangsawan) yang mempunyai pengaruh yang cukup besar di daerahnya. Ia seorang aktivis politik serta menjabat wakil ketua Hizbul Ummah (Partai Kebangsaan) pada tahun 1907, dan berhubungan erat dengan pemerintah kolonial Inggris. Ayahnya ini adalah teman dekat Muhammad Abduh. Meski Ali Abd al-Raziq adalah putra dari seorang sahabat Muhammad Abduh, tetapi karena masih kecil sehingga ia tidak sempat berguru padanya.
Dalam usia yang
masih muda lebih kurang 10 tahun, Ali Abd al-Raziq memulai
pendidikannya di al-Azhar. Ia menekuni pelajaran pada Syekh Ahmad Abu Khalwat,
sahabat Muhammad Abduh. Ahmad Abu Khalwat seperti juga Muhammad Abduh adalah
murid Jamaluddin al-Afgani. Di samping belajar agama di al-Azhar, Ali Abd
al-Raziq selama beberapa tahun juga mengikuti kuliah di Universitas Mesir
(sekarang Universitas Cairo). Di antara gurunya di sana ada Prof. Santillana
yang memberikan kuliah Sejarah Filsafat. Setelah memperoleh ijazah Aumyyah
(Licence) dari al-Azhar tahun 1911, Ali Abd al-Raziq mulai bertugas memberikan
kuliah di universitas tersebut pada tahun 1912. Pada pertengahan tahun itu juga
ia berangkat ke Inggris untuk belajar di Universitas Oxford. Di Universitas ini
ia mempelajari ilmu ekonomi dan politik. Pada tahun 1915 ia kembali ke Mesir,
dan kemudian diangkat sebagai hakim Mahkamah Syar`iyah (Pengadilan Agama).
Dalam kedudukannya sebagai hakim itulah ia mengadakan penelitian yang hasilnya
ia bukukan dalam sebuah karya tulis terkenal, berjudul al Islam
wa Ushul al Hukmu (Islam dan Prinsip-prinsip
pemerintahan: Suatu Kajian tentang Khilafah dan Pemerintahan dalam Islam),
diterbitkan April 1925
(http://dorokabuju.blogspot.co.id/2012/02/ali-abd-al-raziq-khilafah-dan.html.
diakses 10 Mei 2016).
Pada massa itu pertumbuhan dan pemikiran Ali Abd al Raziq terpengaruh oleh
anggota keluarganya yang mempunyai hubungan erat dengan orang inggris, dan
pokok pemikiran yang ada kaitannya dengan keadaan pada waktu itu dan situasi
politik Ali Abd al Raziq, bahwa pada waktu itu kondisi politiknya sangat
genting, terjadinya perang dunia I yang di kumandangkan pada bulan juli 1914
yang kemudian yang di ikuti oleh revolusi Turki yang saat itu merupakan negara kehalifahan
yang menyatakan perang ke negara Inggris akhir oktober tahun 1914 dan tampa
alasan yang yang di benarkan oleh undang-undang inggris lalu menduduki Mesir,
dan pada saat itu sesuai dengan undang-undang internasional merupakan bagian
kekhalifahan Turki Usmani yakni negara kekhalifahan Islam dan merupakan ikatan
keagamaan yang historis.
Bangsa Mesir mengakui kekuasaan politik dan sepiritual khalifah Turki yang
mengakui kekuatan khalifah yaitu kekuasaan umat Islam yang berpusat di Istambul.
Dan ketika perang Turki dan Inggris pecah maka pusat pemerintahan Inggris
pindah ke negara Mesir, dan pada puncaknya kekeritisan masyarakat Mesir dalam
bentuk nasionalisme membenci mereka dan tidak mau mengakui kekuasaannya
sedangkan pada saat yang sama hubungan Mesir dengan Turki sesama muslimnya di
segenap penjara ikut terpengaruh pula (Jumni, 2014: 79).
B.
Karya Monumental Ali Abd al Raziq
Ali Abdul Raziq mempunyai pemikiran yang ditantang
banyak kalangan, terutama para pemikir pembaharu
Islam. Pemikirannya tertuang dalam sebuah buku
berjudul Al-Islam Wa Ushulul AlHukum yang diterbitkan pada tahun 1925. Pemikirannya
yang tertuang dalam buku tersebut adalah tentang
sekularisme, yaitu memisahkan antara agama dan negara. Dia berpendapat bahwa agama tidak
ada kaitannya sama sekali dengan negara.
Tepatnya April 1925, Syekh Ali Abd
al-Raziq,seorang hakim Syar’iyyah di al-Manshurah menerbitkan sebuah buku
kontroversial yang menuntut dihapuskannya kekhilafahan dan mengingkari
eksistensinya dalam ajaran Islam.
Penerbitan buku ini mendapatkan reaksi yang
luar biasa dari kalangan umat Islam di seluruh dunia. Judul buku tersebut
adalah al-Islam wa Ushul al-Hukm. Tesis utama dari buku ini adalah:
1.
Nabi Muhammad tidak membangun negara dan
otoritasnya murni bersifat spritual.
2.
Bahwa Islam tidak menentukan sistem pemerintahan
yang definitif. Karena umat Islam boleh memilih bentuk pemerintahan apapun yang
dirasa cocok.
3.
Bahwa tipe-tipe pemerintahan yang dibentuk setelah
wafatnya Nabi tidak memiliki dasar dalam doktrin Islam. Sistem ini semata-mata diadopsi
oleh orang-orang Arab dan dinaikkan derajatnya dengan istilah khilafah untuk memberi
legitimasi religius.
4.
Bahwa sistem ini telah mmenjadi sumber tipuan
bagi sebagian besar persoalan dunia Islam karena ia digunakan untk meligitimasi
tirani dan menimbulkan dekadensi umat Islam.
Dalam sistematikanya, buku tersebut terbagi menjadi tiga
bagian:
1. Dalam bagian pertama diuraikan tentang definisi khilafah atau lembaga
khalifah beserta ciri-ciri khususnya, kemudian dipertanyakan tentang dasar
anggapan bahwa mendirikan pemerintahan dengan pola khilafah itu merupakan suatu
keharusan dalam agama Islam, dan akhirnya dikemukakan bahwa baik dari segi
agama maupun dari segi rasio, sistem pemerintahan khilafah itu tidak perlu.
2. Dalam bagian kedua diuraikan tentang pemerintahan dan Islam, tentang perbedaan
antara risalah atau misi kenabian dengan pemerintahan, dan akhirnya disimpulkan
bahwa risalah kenabian itu bukan pemerintahan dan bahwa agama bukan negara.
3. Dalam bagian ketiga dan terakhir diuraikan tentang khilafah atau lembaga
khilafah dan pemerintahan dalam sejarah. Dalam hal ini Abd al-Raziq berusaha
membedakan antara mana yang Islam dan mana yang arab, mana yang khilafah
Islamiyah dan mana yang negara Arab, serta mana yang agama dan mana yang
politik. Masalah yang paling mendasar dalam karya Abd al-Raziq sebagaimana yang
dikemukakan oleh Muhammad Diya al-Din Al-Rayis adalah pandangannya bahwa Islam
tidak punya sangkut paut dengan masalah kekhalifahan. Menurutnya kekhalifahan,
termasuk yang berada di bawah kekuasaan al-khulafa al-Rasyidin bukanlah sistem Islam
ataupun keagamaan, tapi sistem yang pada dasarnya duniawi.
Argumen pokok Ali ‘Abd al-Raziq adalah bahwa kekhalifahan tidak ada
dasarnya baik dalam al-Qur’an maupun Sunnah. Keduanya tidak menyebut
kekhalifahan dalam pengertian seperti yang terjelma dalam sejarah. Lebih
lanjut, tidak ada penunjukkan yang jelas baik dalam al-Qur’an maupun Sunnah
mengenai bentuk sistem politik yang harus dibangun umat Islam.
Ali Abd al-Raziq bahkan lebih lanjut berargumen bahwa kata-kata seperti uli
al-amr (mereka yang berkuasa) dalam al-Qur’an yang diklaim oleh banyak pemikir
sebagai kekhalifahan atau imamah, tidak ada sangkut pautnya dengan institusi
ini dan tidak dimaksudkan untuk mendirikan kekuasaan kekhalifahan. Dengan
mengacu pada mufassir seperti Baidhawi dan Zamakhsyari, al-Raziq menyatakan
bahwa kata-kata ulil amri ditafsirkan sebagai “sahabat Nabi,” atau “ulama’. Oleh
karena itu ia membantah bahwa Nabi Muhammad saw telah membentuk negara Islam di
Madinah. Nabi hanya Rasulullah, bukan raja ataupun pemimpin politik. Ia
menyatakan : “Muhammad merupakan utusan untuk misi keagamaan yang penuh dengan keberagamaan,
bersih dari kecenderungan pada sistem kerajaan dan pemerintahan dan dia tidak memiliki
pemerintahan, tidak juga memerintah, dan bahwa ia tidak mendirikan sebuah
kerajaan dalam pengertian politik baik dari term tersebut ataupun yang semakna
dengannya, karena ia hanyalah seorang utusan sebagaimana pembawa risalah sebelumnya.
Dia bukan seorang raja, atau pendiri negara, dia tidak pernah berusaha untuk
memiliki kekuasaan. Al-Raziq membangun argumennya dengan banyak merujuk kepada
teks-teks alQur’an maupun Hadis.
Salah satu teks yang menjadi rujukan adalah Q.S. al-‘Araf ayat 188: “Katakanlah
aku tidak berkuasa menarik kemanfaatan bagi diriku dan tidak pula menolak
kemudharatan kecuali yang dikehendaki Allah. Dan sekiranya aku mengetahui yang
ghaib, tentulah aku membuat kebajikan sebanyak-banyaknya dan aku tidak akan
ditimpa memudharatan. Aku tidak lain hanyalah pemberi peringatan dan pembawa
kabar gembira bagi orang-orang beriman.”
Di sinilah Ali Abd al-Raziq bermaksud membedakan antara agama dan politik,
atau lebih tepatnya antara misi kenabian dan tindakan politik. Ia memberikan
argumen historis dan teologis cukup panjang dalam buku tersebut untuk menunjukkan
bahwa tindakan politik Nabi, misalnya melakukan perang, memungut pajak dan zakat
dan bahkan jihad, tidak berkaitan atau tidak mencerminkan fungsi Nabi sebagai
utusan Allah. Baginya, Islam adalah entitas keagamaan yang bertujuan membangun
kesatuan masyarakat yang diikat oleh keyakinan bersama, melalui dakwah agama.
Dalam bukunya tersebut tersirat bahwa Ali Abd al-Raziq tidak bermaksud
mengatakan bahwa Islam sama sekali tidak perlu membentuk pemerintahan.
Sebaliknya, Islam tidak menolak perlunya suatu kekuasaan politik. Dalam
alQur’an, menurutnya Tuhan menyatakan perlunya pembentukan suatu pemerintahan
sebagai sarana esensial bagi umat Islam dalam perjuangan mereka untuk
melindungi agama dan menyalurkan kepentingan-kepentingannya. Tapi ini tidak berarti
bahwa pembentukan suatu pemerintahan menjadi ajaran pokok Islam. Ini jelas
menunjukkan bahwa Ali menerima keberadaan otoritas politik dalam umat Islam.
Tapi ia jelas menolak bahwa otoritas politik merupakan tuntutan syariah atau
bentuk organisasi politik yang wajib ada secara keagamaan. Bahkan bagi Ali Abd
al-Raziq pemerintahan kekhalifahan Islam merupakan fenomena historis murni yang
pada dasarnya bersifat sekuler.
Menanggapi buku Ali Abd Rariqal-Islam wa Ushul al-Hukm, Leonard Binder
(1988) dalam bukunya Islamic Liberalism : A Critique of Development Idiologies,
menyatakan bahwa titik sentral karakter tantangan intelektual yang dimunculkan
oleh Ali Abd. al-Raziq terhadap para Ulama tradisional al-Azhar dalam bukunya
alIslam wa Ushul al-Hukm, adalah perbedaan antara makna komunitas politik dan
pemerintahan. Dalam arti, apakah Umat Islam itu bisa dimaknai sebagai komunitas
politik atau komunitas religius saja dan
apakah pemerintahan itu menjadi bagian dari risalah kenabian.
Tesis yang dilontarkan Ali Abd. al-Raziq yang secara tajam menyatakan bahwa
Umat Islam adalah komunitas religius saja dan risalah tidak terkait dengan
pemerintahan, diposisikan sebagai pemikiran liberal Mesir modern yang terbaik,
dan sebagai bahan perdebatan politik yang menarik. Buku itu, berikut reaksi
resmi terhadapnya banyak menarik perhatian pada tahun 1925 sewaktu diterbitkannya
untuk pertama kalinya. Banyak sejarahwan pemikiran Mesir yang mengupasnya, terutama
Albert Hourani dalam karyanya Arabic Thought in Liberal Age,1798-1939, dan Muhammad
Imarah dalam al-Islam wa Ushul al Hukm Ali Abd al-Raziq.
Kedua penulis di atas sama-sama memperdebatkan konteks historis terbitnya
buku al-Raziq. Menurut Imarah, karya Ali Abd. al-Raziq bermuatan politik dan
dimaksudkan untuk menolak argumen Rasyid Rida tentang kekhalifahan sekaligus
mengacaukan pencalonan Raja Fuad dari Mesir menjadi Khalifah. Bagaimana potret
historisitas karya al-Raziq itu? Negara baru Turki, pimpinan Kemal Ataturk, secara
resmi membubarkan pemerintahan kekhalifahan tahun 1924, dan terjadilah
kompetisi yang terkendali namun sangat mencekam di kalangan sejumlah penguasa
Arab untuk menguasai gelar tersebut, atau untuk mencegah agar tidak dikuasai
pihak lain.
Isu kekhalifahan mengemuka sebagai permasalahan politik yang penting
menjelang berakhirnya kekaisaran Ottoman, karena simbol kepemimpinan spiritual
kaum Muslim ini melayani kepentingan pemerintahan Ottoman, bahkan ketika
kekuasaannya atas wilayah yang dihuni kaum Muslim di Eropa Timur sudah melemah.
Isu tersebut bertiup lebih kencang lagi dengan adanya organisasi pergerakan di
kalangan Muslim India untuk melindungi kekhalifahan dari serangan brutal
kekuatan-kekuatan asing dalam Perang Dunia I. Para pemimpin gerakan-gerakan tersebut
mendukung upaya sebagian bangsa Arab yang berminat dengan peluang didapatnya keuntungan
politik dari pengukuhan kembali kekhalifahan Arab.
Ulama yang dimintai pendapat untuk persoalan ini sepertinya memberi
tanggapan dengan sangat hati-hati. Raja Fuad dari Mesir adalah yang secara
khusus berkepentingan untuk mendapatkan gelar khalifah, sementara dia mampu
memanfaatkan pengaruh kerajaan atas alAzhar untuk mewujudkan keinginannya itu. Rasyid
Rida, murid Muhammad Abduh, salah satu yang terpanggil untuk menerbitkan
artikel tentang kekhalifahan dalam al-Manar pada musim semi 1925. Situasi
historis yang demikian itu yang menjadi latar belakang terbitnya karya
al-Raziq, yang dimaksudkan sebagai antitesa terhadap wacana kekhalifahan saat
itu.
Pada hari setelah Dewan Ulama melancarkan kecaman terhadap al-Raziq, dia
diwawancarai oleh wartawan Bourse Egyptienneyang memintanya menjelaskan inti
permasalahan yang dibahas dalam bukunya. Al-Raziq menjawab : “ gagasan utama
dalam buku saya, yang telah membuat saya banyak dikecam adalah bahwa Islam
tidak menetapkan bentuk rezim atau pemerintahan tertentu bagi kaum Muslim
menurut persyaratan yang dibuat oleh sistem itu sediri : Islam justru memberi
kita kebebasan untuk membentuk negara sesuai dengan kondisi intelektual, sosial
dan ekonomi di sekeliling kita, dengan mempertimbangkan perkembangan sosial dan
tuntutan jaman.”
Dari sini pertanyaannya kemudian mengarah secara khusus kepada masalah
kekhalifahan, dan Ali Abd. al-Raziq mengulang pendapatnya bahwa kekhalifahan
bukan rezim negara, bahwa lembaga ini tidak disyaratkan dalam Islam, dan bahwa terlepas
dari niat para khalifah – tidaklah mungkin ada pengganti, atau khalifah yang
mengantikan kedudukan Rasulullah, karena Rasul tidak pernah menjadi raja, dan
tidak pernah berusaha mendirikan sebuah negara ataupun pemerintahan. Dia adalah
pembawa pesan yang diutus oleh Allah, dan dia bukan pemimpin politik.” Lebih
lanjut al-Raziq menjelaskan, bahwa Rasul memang dapat menangani
persoalanpersoalan politik umatnya, namun menurut alRaziq, Rasul tugas yang
unik yang tidak bisa didelegasikan kepada orang lain, karena berhubungan dengan
potensi kenabian yang hanya dimiliki olehnya par exellence. Sehingga pasca Rasul,
tidak akan ada lagi model kepemimpinanyang sama dengan model kepemimpinan
Rasul. Khalifah yang dimaknai sebagaikepemimpinan pengganti Rasul sungguh tidak
masuk akal.
Urusan politik adalah urusan dunia yang tidak terkait langsung dengan
agama, bahkan terpisah sama sekali dengan agama. Menurut al-Raziq, adalah masuk
akal jika dunia akan menganut satu agama dan bahwa semua umat manusia dapat diatur
dalam satu kesatuan agama. Namun, lanjut al-Raziq, kepenganutan seluruh dunia
pada satu pemerintahan dan dikelompokkan pada satu kesatuan politik bersama
akan bertentangan dengan sifat dasar manusia dan tidak terkait dengan kehendak
Tuhan.
Karena hal itu merupakan tujuan duniawi, dan Tuhan telah menyerahkan
urusannya kepada manusia untuk memikirkannya. Bahkan Ali Abd al-Raziq membangun
tesisnya yang fundamental, bahwa Muhammad Rasulullah tidak mempunyai hak
apa-apa atas umatnya selain hak risalah. Kalau saja Rasulullah seorang raja,
kata al-Raziq, tentunya dia jugamempunyai hak-hak seorang raja atas umatnya.
Dan melihat fenomena kekuasaan raja pasca wafatnya Rasulullah, dengan tegas
ia menyatakan : “Seorang raja tidak memiliki hak risalah, keutamaannya bukan
keutamaan risalah, keagungannya bukan keagungan risalah”.
Al-Qur’an, kata al-Raziq, dengan gamblang menerangkan bahwa Muhammad tidak
lain hanya seorang rasul yang tidak ada rasul lain sesudahnya Ia juga
menjelaskan bahwa Muhammad tidak mempunyai tugas lain selain menyampaikan risalah
Allah kepada manusia. Dan ia tidak dibebani apa-apa selain agar menyampaikan risalah
itu, dan ia tidak berkewajiban memaksa manusia agar menerima apa yang dia bawa.
Dengan bersikukuh bahwa Rasulullah bukanlah
pemimpin politik, dan bahwa khalifah bukan penerus Rasulullah, al-Raziq
mengingkari adanya peralihan legitimasi politik dari Rasulullah kepada
khalifah. Tampaknya dia berkeyakinan bahwa komunitas beragama yang memiliki kesamaan
keyakinan berkat misi dakwah Rasulullah tidak memiliki dimensi politik. Kegigihannya
mempertahankan pendapat bahwa Muhammad bukan pemimpin politik tentunya nyaris
tidak dapat diterima, baik dari sudut pandang historis maupun tradisional
(Jumni, 2014: 79-81).
C.
Pandangan Ali Abd Al Raziq tentang Khalifah
Pokok-pokok
Pikiran Ali Abd al Raziq :
1.
Masalah Khilafah
Sepeninggal Nabi pada tahun 632 M., kaum muslimin mencapai konsensus dan
memilih Abu Bakar al-Shiddiq menjadi khalifah Rasulullah Saw. Dialah khalifah
pertama dalam sejarah Islam yang kemudian diikuti oleh khalifah kedua dan
seterusnya bermunculan khalifah-khalifah di sepanjang perjalanan sejarah Islam.
Jadi, wajar
saja bila kaum muslimin menaruh perhatian yang sangat besar terhadap masalah
kekhalifahan.
Dalam pandangan
ulama Islam, khilafah adalah kepemimpinan umum untuk urusan agama dan dunia
sebagai pengganti Nabi. Keadaan ini didukung oleh kenyataan bahwa semua
kekuasaan politik dalam Islam pasca Nabi selalu menisbatkan diri kepada ajaran-ajaran
Alquran serta mengklaim bertanggung jawab untuk menjaga ajaran-ajaran tersebut.
Semua itu memaksakan suatu pandangan bahwa Islam adalah agama sekaligus negara
(dunia), dan di antara keduanya tidak dapat dipisahkan.
Berbeda dengan pandangan mayoritas ulama di atas, Ali Abdul Raziq
berpendapat bahwa Islam itu tidak ada kaitannya sedikit pun dengan
kekhalifahan, karena kekhalifahan bukanlah suatu sistem yang Islamis atau
bercorak keagamaan. Ia hanyalah sistem keduniaan yang sepenuhnya
berbeda dengan agama serta memiliki tujuan-tujuan yang bercorak dunia. Ali
Abdul Raziq mengutip suatu riwayat yang menceritakan bahwa ketika jabatan
khalifah ditawarkan kepada Abu Bakar, diusulkan dengan sebutan Khalifah Allah,
tetapi Abu Bakar menolaknya dan berkata: Aku bukan khalifah Allah melainkan
khalifah Rasulullah. Dengan demikian, maksud khalifah bagi Abu Bakar adalah
mengurus kepentingan rakyat yang berhubungan dengan dunia.
Bagi Ali Abdul
Raziq, baik Alquran maupun hadis tidak pernah menyebutkan term khalifah dalam
pengertian pemimpin negara. Term ulil amri yang termuat dalam Alquran
surat an-Nisa (4) : 59 diartikannya sebagai para tokoh Islam di masa Rasulullah
dan masa sesudahnya, termasuk para khalifah, para qadhi, para komandan perang
dan bahkan para ulama. Untuk itu, tidak tepat jika ayat tersebut dijadikan
dasar yang mewajibkan pengangkatan khalifah, karena ayat tersebut hanya
menunjukkan bahwa di kalangan kaum muslimin terdapat sekelompok orang yang
menjadi panutan bagi beberapa pesoalan yang muncul. Dengan demikian, ayat itu
lebih luas daripada memberikan keputusan tentang wajibnya mendirikan khilafah.
Selanjutnya, hadis nabi yang menyatakan الأمة من قريش (Imam
itu berasal dari suku Quraisy) menurut Ali Abdul Raziq juga tidak sesuai
dijadikan kewajiban mendirikan lembaga khilafah. Persoalan ijma’ (konsensus
ulama) tetap diakuinya, tetapi pengangkatan para khalifah setelah Nabi Saw.
tidak pernah dilandasi dengan ijma’ulama.
Pokok-pokok pikiran Ali Abdul Raziq tentang khilafah dikritik habis-habisan
oleh Dhiyauddin al-Rais. Menurut Dhiyauddin, wajibnya menegakkan kekhilafahan
merupakan ijma’ (konsensus) para sahabat
dan kaum muslimin, pengakuan syara’ terhadap prinsip ijma merupakan
pengakuan terhadap aspirasi ummat secara
menyeluruh, seperti yang dinyatakan oleh para mujtahid, sepanjang kekhalifahan
itu telah ditetapkan dengan prinsip ijma’, maka tidak perlu untuk
membicarakannya melalui prinsip lain, sebab prinsip ijma’ itu sendiri
berdasarkan Alquran dan hadis serta selamanya berkaitan dengan keduanya. Dengan
demikian, menurut Dhiyauddin bahwa Ali Abdul Raziq tidak memahami makna prinsip
ijma’ yang telah ditetapkan para ulama Islam.
Perbedaan
pendapat antara Ali Abdul Raziq dan Dhiyauddin disebabkan perbedaan pandangan
mereka tentang ijma’. Ali Abdul Raziq memahami bahwa umat Islam sama sekali
tidak pernah mencapai konsensus dalam memilih khalifah yang mana pun dan juga
pada masa kapan pun. Namun Dhiyauddin
memandang ijma’ yang dimaksud adalah kesepakatan para sahabat dan kaum muslimin
terhadap wajibnya menegakkan kekhilafahan. Dengan demikian, ijma’nya berhubungan dengan
kekhilafahan, bukan atas siapa orang yang akan dipilih.
2.
Islam dan Pemerintahan
Ali Abdul Raziq dalam bukunya al-Islam wa Ushul al-Hukm menyebutkan
bahwa seluruh apa yang dibawa oleh Rasulullah hanyalah semata-mata syariat
keagamaan yang murni untuk Allah. Ia tidak memiliki kepentingan apapun dengan
masalah yang bersifat keduniaan sama sekali. Akan halnya masalah masyarakat,
politik maupun pemerintahan. Semuanya itu adalah persoalan dunia. Oleh karena
itu, dalam ajaran Islam tidak terdapat ketentuan tentang corak negara. Nabi
Muhammad Saw. menurutnya hanya mengemban tugas dan misi rasul dan tidak membawa
misi untuk membentuk negara.
Persoalan
kemudian adalah apakah pendirian negara di Madinah oleh Nabi berikut
pengawasannya yang dapat diartikan sebagai tugas pemerintahan merupakan bagian
yang tidak terpisahkan dari tugas-tugas kerasulannya? Pertanyaan seperti ini
dijawabnya dengan mengemukakan bahwa pemerintahan Nabi bukanlah bagian dari
tugas kerasulannya, melainkan tugas yang terpisah dan berada di luar dari misi
yang diembannya. Pemerintahan yang pernah dibentuk oleh Nabi, kata Ali Abdul
Raziq adalah urusan dunia yang tidak ada kaitannya dengan tugas kerasulannya. Untuk memperkuat pendapatnya ini, Ali Abdul Raziq mengutip beberapa ayat
Alquran, antara lain sebagai berikut :
·
Surat Ali Imran (3): 144, yang artinya, Muhammad Saw. hanyalah seorang
Rasul yang kelak didahului oleh wafatnya rasul-rasul yang lain.
·
Surat al-Ghasyiah (88): 21, yang maksudnya, Rasulullah hanyalah bertugas
menyampaikan risalah Allah kepada umat manusia.
Di samping mengutip
ayat-ayat Alquran, ia juga menggunakan argumen hadis nabi riwayat Muslim.(Hadis
tersebut berbunyi :
انتم اعلم بأمور دنياكم (Kamulah yang paling tahu
tentang urusan duniamu). Dari ayat-ayat dan hadis, Ali Abdul Raziq memahami
bahwa soal negara atau pemerintahan adalah urusan dunia, karena itu terserah
kepada manusia dengan cara apa dan bagaimana mengaturnya.
Sehubungan dengan pikiran-pikiran
Ali Abdul Raziq ini, kembali Dhiyauddin memberikan kritikan yang tajam. Menurutnya,
Ali Abdul Raziq memulai pokok-pokok pikiran dan keyakinannya yang keliru, yakni
suatu keyakinan atau motivasi yang sepenuhnya menafikan hakikat sistem, syariat
dan tujuan Islam. Dengan demikian, maka Islam dipahami hanyalah
seruan keagamaan belaka tanpa ada pelaksanaannya. Argumentasi yang digunakan
Ali Abdul Raziq adalah ayat-ayat Alquran periode Mekah, sedangkan pada periode
ini kaum muslimin masih berada di bawah tekanan pemerintah kafir Quraisy,
sehingga tidak mungkin bagi mereka untuk melaksanakan syariat dalam kehidupan
nyata. Akan halnya periode sesudah itu, negara Islam sudah terbentuk dan
syariat pun telah sempurna diturunkan, sehingga Rasulullah Saw. dan kaum
muslimin dapat melaksanakan perintah-perintah yang disyariatkan Allah yang
dibuktikan oleh sejarah. Selanjutnya, Dhiyauddin mengutip beberapa ayat Alquran
yang memerintahkan Rasulullah Saw. untuk merealisasikan risalahnya, seperti QS.
al-Tahrim (66) : 9, QS. al-Anfal (8) : 57 dan QS. al-Maidah (5) : 58.
Pendirian penulis, kehidupan agama (dalam hal
ini Islam) dengan kehidupan negara tidak mungkin dipisahkan. Keduanya mempunyai
hubungan yang erat. Salah satu doktrin Alquran yang memperkuat doktrin ini adalah
hablun min Allah wa hablun hablun min al-nas (QS. Ali Imran (3): 112),
artinya hubungan manusia dengan Allah dan hubungan manusia dengan manusia
merupakan satu kesatuan. Untuk itu, masalah hubungan agama (Islam) dan negara
harus ditempatkan dalam konteks ini.
Meskipun Alquran dan sunnah Rasul tidak menentukan bagaimana bentuk
pemerintahan Islam, tetapi prinsip-prinsip umumnya sudah digariskan. Karena
itu, manusia diberikan kewenangan dan kebebasan untuk memilih dan menentukan
sendiri bentuk pemerintahan apa yang paling baik bagi mereka.
Pemikiran Ali Abdul Raziq, tampaknya
mendapat kritikan keras dari kalangan
ulama Mesir, khususnya al-Azhar. Tantangan dan protes keras itu terjadi dalam
rapat Majelis Ulama Besar al-Azhar pada
tanggal 12 Agustus 1925, yang dihadiri sebanyak 24 orang ulama al-Azhar. Di
sinilah diputuskan bahwa isi buku al-Islam wa Ushul al-Hukm telah
bertolak keluar dari seorang muslim,
apalagi dari seorang ulama. Ali Abdul Raziq akhirnya dikeluarkan dari jajaran
ulama al-Azhar (
D. ALI ABD AL RAZIQ DAN KONSEP NEGARA
Dari buku yang dikarang oleh Ali Abd Raziq
dapat dipahami beberapa hal penting antara lain: Ali Abd al Raziq tidak
memberikan defenisi khusus tentang negara, beliau hanya menyatakan negara hanya
secara global tidak terperinci atau hanya universal.
Menurutnya negara yang mementingkan agama,
dalam negara ini agama di pentingkan negara hanya urusan duniawi tidak
menyangkut urusan berkepentingan. Maksudnya negara berkepentingan pada agama,
tegasnya agama berguna bagi negara dan agama pun berkepentingan pada negara
yang kuat akan memperkuat agama.
Disini dipahami bahwa beliau memisahkan antara
agama dan negara namun keduanya saling membutuhkan. Ali Abd al Raziq
berpendapat bahwa, bentuk negara yang tepat yaitu republic karena republik
lebih cocok disamping beliau pernah mendirikan partai-partai politik dan lebih
cenderung pada liberalisme atau sekekulerisme.
Prinsip dasar kekuasaan Negara menurut Ali Abd
al Raziq adalah demokrasi karena masyarkat yang akan memilih pemimpin mereka
dan kekuasaanya ada di tangan rakyat tidak ada di tangan Tuhan. Karena Negara
hanya urusan duniawi saja tidak menyangkut urusan agama. Jadi hanya rakyatlah
yang mempunyai kekuasaan yang absolut pemimpin hanya melaksanakan tugas - tugas
yang di amanatkan oleh rakyat karena Negara kebutuhan duniawi jadi menurut Ali
Abd al Raziq demokrasilah yang paling pantas untuk prinsip dasar kekuasaan.
Dengan demikian negara yang ideal menurut Ali
Abd al Raziq ialah negara yang berasaskan humanisme universal yang
memperjuangkan rakyatnya, demokrasi dan keadilan sosial, yaitu negara sekuler
bagi kaum muslimin dan non muslim yang hidup di negara itu. Negara yang berasaskan
humanisme universal dan sistem demokrasi di tunjang oleh rakyat yang berdaulat dalam
rangka mencapai kemajuan dan keadilan sosial tanpa melibatkan agama.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
1.
Ali Abd al-Raziq lahir di Menya, Mesir. Pada tahun 1888 dan wafat tahun
1966. Dia adalah seorang tokoh fiqhi siyasiy (politik) dari Mesir, khususnya
politik hukum dan pemerintahan dalam Islam.
2.
Ali
Abdul Raziq mempunyai pemikiran yang ditantang
banyak kalangan, terutama para pemikir pembaharu
Islam. Pemikirannya tertuang dalam sebuah buku
berjudul Al-Islam Wa Ushulul AlHukum yang diterbitkan pada tahun 1925. Pemikirannya
yang tertuang dalam buku tersebut adalah tentang
sekularisme, yaitu memisahkan antara agama dan negara. Dia berpendapat bahwa agama tidak
ada kaitannya sama sekali dengan negara.
Dalam bukunya tersebut tersirat bahwa Ali Abd
al-Raziq tidak bermaksud mengatakan bahwa Islam sama sekali tidak perlu
membentuk pemerintahan. Sebaliknya, Islam tidak menolak perlunya suatu kekuasaan
politik.
3.
Menurut Ali Abd al-Raziq, realitas sejarah Islam tidaklah memberikan
keharusan bentuk organisasi politiknya bernama khilafah dan pimpinannya disebut
sebagai khalifah. Hal ini dapat dilihat dengan hilangnya peran kedaulatan
rakyat dalam proses politik dan terbentuknya sistem khilafah yang berdasarkan
keturunan sebagai refleksi hilangnya essensi ajaran Islam dari amaliah di bidang
politik.
Gagasan politik al-Raziq yang demikian itu terlahir sebagai akibat
bergolaknya revolusi politik yang telah memisahkan kekuasaan politik keagamaan
yang begitu mendominasi di dunia Islam, terutama yang terdekat dengan lingkar kehidupannya
seperti revolusi Turki 1925 dengan bentuk sekularismenya, serta timbulnya nasionalisme
Arab yang telah melahirkan kerajaan.
Kiranya kondisi sosio-politik yang demikian inilah yang mendorong hingga ia
berteori perlunya pemisahan antara agama dan negara (politik). Tampaknya dengan
teorinya ini, ia ingin menemukan konsep politik yang Islami, namun dibahasakan
dengan perlunya pemisahan antara agama dan politik yang keduanya tidak mungkin dapat
disatukan. Menurutnya agama bersifat sakral, sedangkan politik bersifat lebih
profan.
4.
Ali Abd al Raziq berpendapat bahwa, bentuk
negara yang tepat yaitu republic karena republik lebih cocok disamping beliau
pernah mendirikan partai-partai politik dan lebih cenderung pada liberalisme
atau sekekulerisme.
Prinsip dasar kekuasaan Negara menurut Ali Abd
al Raziq adalah demokrasi karena masyarkat yang akan memilih pemimpin mereka
dan kekuasaanya ada di tangan rakyat tidak ada di tangan Tuhan. Karena Negara
hanya urusan duniawi saja tidak menyangkut urusan agama. Jadi hanya rakyatlah
yang mempunyai kekuasaan yang absolut pemimpin hanya melaksanakan tugas - tugas
yang di amanatkan oleh rakyat karena Negara kebutuhan duniawi jadi menurut Ali
Abd al Raziq demokrasilah yang paling pantas untuk prinsip dasar kekuasaan.
DAFTAR PUSTAKA
Nelli, Jumni (2014) “Pemikiran Politik Ali Abd Al Raziq”. AN-NIDA : JURNAL
PEMIKIRAN ISLAM. 39 (1), 76-90.
Kabuju, Doro. . http://dorokabuju.blogspot.co.id/2012/02/ali-abd-al-raziq-khilafah-dan.html,
diakses 10 Mei 2016.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar