HOME

SELAMAT DATANG DI BLOG RIZQI

Kamis, 16 Juni 2016

ALI ABDUL AL RAZIQ



BAB I
PENDAHULUAN
A.      Latar Belakang Masalah
Perkembangan pemahaman untuk menerapkan nilai-nilai Al-Quran dalam setiap aspek semakin berkembang sesuai dengan perkembangan ilmu pegetahuan, teknologi dan perubahan social yang terjadi. Hal ini tidak terlepas dari situasi dan kondisi yang berlangsung. Nilai-nilai yang di terapkan tersebutmerupakan suatu kekuatan yang dinamis dan kreatif. Karena sesuai dengan sosio kultur dan sosio politik yang sedang terjadi saat itu.
Salah satu perkembangan pemahaman yang sampai saat ini terjadi topik hangat adalah penegasan dari sebuah konsepsi mengenai sistem politik Islam, yang dalam ini adalah pencarian tentang konsep negara. Masalah ini kian makin komplek karena tatkala konsep negara bangsa ( nation state ) yang berasal dari barat berpengaruh di praktekkan dalam lingkungan Islam. Menurut Ali Abdul Raziq tentang konsep negara ialah sekuler yaitu : kejayaan dan kemakmuran dunia islam dapat terwujud bukan dengan kembalikeajaran Islam yang lama dan bukan dengan mengadakan reformasi atau pembaharuan ajaran Islam tetapi dengan perubahan total yang bernapaskansekuleristik, bahwa negara yang diperlukan oleh umat manusia bukanlah negara agama melainkan negara duniawi.
Sekularisme Ali Abdul Razik yang lebih menekankan totalitas ajarannya. Merupakan pemikiran politik yang sangat patut untuk di kaji lebihlanjut untuk mengetahui letak kekuatan dan kelemahan argumentasi yang dikemukakan oleh pemikir politik Islam tersebut.Untuk itulah penulis merasa perlu untuk lebih mengetahui kerangka acuan atau argumentasi dalam upaya mewujudkan kerangka ideal masyarakat yang di lakukan oleh pemikir tersebut.




B.       Rumusan Masalah
Dari latar belakang diatas, rumusan masalah dalam pembahasan makalah ini adalah :
1.      Siapa Ali Abdul Al-Raziq?
2.      Apa Karya-Karya Monumental Ali Abd Al Raziq?
3.      Bagaimana Pandangan Ali Abd Al Raziq tentang Khalifah?
4.      Bagaimana Konsep Negara menurut Ali Abd Al Raziq?
C.      Tujuan
Dari rumusan masalah diatas, tujuan dalam pembahasan makalah ini adalah :
1.      Untuk mengetahui Siapa Ali Abdul Al-Raziq.
2.      Untuk mengetahui Apa Karya-Karya Monumental Ali Abd Al Raziq.
3.      Untuk mengetahui Bagaimana Pandangan Ali Abd Al Raziq tentang Khalifah.
4.      Untuk mengetahui Bagaimana Konsep Negara menurut Ali Abd Al Raziq.















BAB II
PEMBAHASAN

A.      BIOGRAFI ALI ABD AL-RAZIQ
Ali Abd al-Raziq lahir di Menya, Mesir. Pada tahun 1888 dan wafat tahun 1966. Dia adalah seorang tokoh fiqhi siyasiy (politik) dari Mesir, khususnya politik hukum dan pemerintahan dalam Islam.
Ayahnya bernama Hasan al-Raziq, seorang pasha (keturunan bangsawan) yang mempunyai pengaruh yang cukup besar di daerahnya. Ia seorang akti
vis politik serta menjabat wakil ketua Hizbul Ummah (Partai Kebangsaan) pada tahun 1907, dan berhubungan erat dengan pemerintah kolonial Inggris. Ayahnya ini adalah teman dekat Muhammad Abduh. Meski Ali Abd al-Raziq adalah putra dari seorang sahabat Muhammad Abduh, tetapi karena masih kecil sehingga ia tidak sempat berguru padanya.
Dalam usia yang masih muda lebih kurang 10 tahun, Ali Abd al-Raziq memulai pendidikannya di al-Azhar. Ia menekuni pelajaran pada Syekh Ahmad Abu Khalwat, sahabat Muhammad Abduh. Ahmad Abu Khalwat seperti juga Muhammad Abduh adalah murid Jamaluddin al-Afgani. Di samping belajar agama di al-Azhar, Ali Abd al-Raziq selama beberapa tahun juga mengikuti kuliah di Universitas Mesir (sekarang Universitas Cairo). Di antara gurunya di sana ada Prof. Santillana yang memberikan kuliah Sejarah Filsafat. Setelah memperoleh ijazah Aumyyah (Licence) dari al-Azhar tahun 1911, Ali Abd al-Raziq mulai bertugas memberikan kuliah di universitas tersebut pada tahun 1912. Pada pertengahan tahun itu juga ia berangkat ke Inggris untuk belajar di Universitas Oxford. Di Universitas ini ia mempelajari ilmu ekonomi dan politik. Pada tahun 1915 ia kembali ke Mesir, dan kemudian diangkat sebagai hakim Mahkamah Syar`iyah (Pengadilan Agama). Dalam kedudukannya sebagai hakim itulah ia mengadakan penelitian yang hasilnya ia bukukan dalam sebuah karya tulis terkenal, berjudul al  Islam  wa  Ushul  al Hukmu (Islam dan Prinsip-prinsip pemerintahan: Suatu Kajian tentang Khilafah dan Pemerintahan dalam Islam), diterbitkan April 1925 (http://dorokabuju.blogspot.co.id/2012/02/ali-abd-al-raziq-khilafah-dan.html. diakses 10 Mei 2016).
Pada massa itu pertumbuhan dan pemikiran Ali Abd al Raziq terpengaruh oleh anggota keluarganya yang mempunyai hubungan erat dengan orang inggris, dan pokok pemikiran yang ada kaitannya dengan keadaan pada waktu itu dan situasi politik Ali Abd al Raziq, bahwa pada waktu itu kondisi politiknya sangat genting, terjadinya perang dunia I yang di kumandangkan pada bulan juli 1914 yang kemudian yang di ikuti oleh revolusi Turki yang saat itu merupakan negara kehalifahan yang menyatakan perang ke negara Inggris akhir oktober tahun 1914 dan tampa alasan yang yang di benarkan oleh undang-undang inggris lalu menduduki Mesir, dan pada saat itu sesuai dengan undang-undang internasional merupakan bagian kekhalifahan Turki Usmani yakni negara kekhalifahan Islam dan merupakan ikatan keagamaan yang historis.
Bangsa Mesir mengakui kekuasaan politik dan sepiritual khalifah Turki yang mengakui kekuatan khalifah yaitu kekuasaan umat Islam yang berpusat di Istambul. Dan ketika perang Turki dan Inggris pecah maka pusat pemerintahan Inggris pindah ke negara Mesir, dan pada puncaknya kekeritisan masyarakat Mesir dalam bentuk nasionalisme membenci mereka dan tidak mau mengakui kekuasaannya sedangkan pada saat yang sama hubungan Mesir dengan Turki sesama muslimnya di segenap penjara ikut terpengaruh pula (Jumni, 2014: 79).

B.       Karya Monumental Ali Abd al Raziq
Ali Abdul Raziq mempunyai pemikiran yang ditantang banyak kalangan, terutama para pemikir pembaharu Islam. Pemikirannya tertuang dalam sebuah buku berjudul Al-Islam Wa Ushulul AlHukum yang diterbitkan pada tahun 1925. Pemikirannya yang tertuang dalam buku tersebut adalah tentang sekularisme, yaitu memisahkan antara agama dan negara. Dia berpendapat bahwa agama tidak ada kaitannya sama sekali dengan negara.
Tepatnya April 1925, Syekh Ali Abd al-Raziq,seorang hakim Syar’iyyah di al-Manshurah menerbitkan sebuah buku kontroversial yang menuntut dihapuskannya kekhilafahan dan mengingkari eksistensinya dalam ajaran Islam.
Penerbitan buku ini mendapatkan reaksi yang luar biasa dari kalangan umat Islam di seluruh dunia. Judul buku tersebut adalah al-Islam wa Ushul al-Hukm. Tesis utama dari buku ini adalah:
1.            Nabi Muhammad tidak membangun negara dan otoritasnya murni bersifat spritual.
2.            Bahwa Islam tidak menentukan sistem pemerintahan yang definitif. Karena umat Islam boleh memilih bentuk pemerintahan apapun yang dirasa cocok.
3.            Bahwa tipe-tipe pemerintahan yang dibentuk setelah wafatnya Nabi tidak memiliki dasar dalam doktrin Islam. Sistem ini semata-mata diadopsi oleh orang-orang Arab dan dinaikkan derajatnya dengan istilah khilafah untuk memberi legitimasi religius.
4.            Bahwa sistem ini telah mmenjadi sumber tipuan bagi sebagian besar persoalan dunia Islam karena ia digunakan untk meligitimasi tirani dan menimbulkan dekadensi umat Islam.
Dalam sistematikanya, buku tersebut terbagi menjadi tiga bagian:
1.      Dalam bagian pertama diuraikan tentang definisi khilafah atau lembaga khalifah beserta ciri-ciri khususnya, kemudian dipertanyakan tentang dasar anggapan bahwa mendirikan pemerintahan dengan pola khilafah itu merupakan suatu keharusan dalam agama Islam, dan akhirnya dikemukakan bahwa baik dari segi agama maupun dari segi rasio, sistem pemerintahan khilafah itu tidak perlu.
2.      Dalam bagian kedua diuraikan tentang pemerintahan dan Islam, tentang perbedaan antara risalah atau misi kenabian dengan pemerintahan, dan akhirnya disimpulkan bahwa risalah kenabian itu bukan pemerintahan dan bahwa agama bukan negara.
3.      Dalam bagian ketiga dan terakhir diuraikan tentang khilafah atau lembaga khilafah dan pemerintahan dalam sejarah. Dalam hal ini Abd al-Raziq berusaha membedakan antara mana yang Islam dan mana yang arab, mana yang khilafah Islamiyah dan mana yang negara Arab, serta mana yang agama dan mana yang politik. Masalah yang paling mendasar dalam karya Abd al-Raziq sebagaimana yang dikemukakan oleh Muhammad Diya al-Din Al-Rayis adalah pandangannya bahwa Islam tidak punya sangkut paut dengan masalah kekhalifahan. Menurutnya kekhalifahan, termasuk yang berada di bawah kekuasaan al-khulafa al-Rasyidin bukanlah sistem Islam ataupun keagamaan, tapi sistem yang pada dasarnya duniawi.
Argumen pokok Ali ‘Abd al-Raziq adalah bahwa kekhalifahan tidak ada dasarnya baik dalam al-Qur’an maupun Sunnah. Keduanya tidak menyebut kekhalifahan dalam pengertian seperti yang terjelma dalam sejarah. Lebih lanjut, tidak ada penunjukkan yang jelas baik dalam al-Qur’an maupun Sunnah mengenai bentuk sistem politik yang harus dibangun umat Islam.
Ali Abd al-Raziq bahkan lebih lanjut berargumen bahwa kata-kata seperti uli al-amr (mereka yang berkuasa) dalam al-Qur’an yang diklaim oleh banyak pemikir sebagai kekhalifahan atau imamah, tidak ada sangkut pautnya dengan institusi ini dan tidak dimaksudkan untuk mendirikan kekuasaan kekhalifahan. Dengan mengacu pada mufassir seperti Baidhawi dan Zamakhsyari, al-Raziq menyatakan bahwa kata-kata ulil amri ditafsirkan sebagai “sahabat Nabi,” atau “ulama’. Oleh karena itu ia membantah bahwa Nabi Muhammad saw telah membentuk negara Islam di Madinah. Nabi hanya Rasulullah, bukan raja ataupun pemimpin politik. Ia menyatakan : “Muhammad merupakan utusan untuk misi keagamaan yang penuh dengan keberagamaan, bersih dari kecenderungan pada sistem kerajaan dan pemerintahan dan dia tidak memiliki pemerintahan, tidak juga memerintah, dan bahwa ia tidak mendirikan sebuah kerajaan dalam pengertian politik baik dari term tersebut ataupun yang semakna dengannya, karena ia hanyalah seorang utusan sebagaimana pembawa risalah sebelumnya. Dia bukan seorang raja, atau pendiri negara, dia tidak pernah berusaha untuk memiliki kekuasaan. Al-Raziq membangun argumennya dengan banyak merujuk kepada teks-teks alQur’an maupun Hadis.
Salah satu teks yang menjadi rujukan adalah Q.S. al-‘Araf ayat 188: “Katakanlah aku tidak berkuasa menarik kemanfaatan bagi diriku dan tidak pula menolak kemudharatan kecuali yang dikehendaki Allah. Dan sekiranya aku mengetahui yang ghaib, tentulah aku membuat kebajikan sebanyak-banyaknya dan aku tidak akan ditimpa memudharatan. Aku tidak lain hanyalah pemberi peringatan dan pembawa kabar gembira bagi orang-orang beriman.”
Di sinilah Ali Abd al-Raziq bermaksud membedakan antara agama dan politik, atau lebih tepatnya antara misi kenabian dan tindakan politik. Ia memberikan argumen historis dan teologis cukup panjang dalam buku tersebut untuk menunjukkan bahwa tindakan politik Nabi, misalnya melakukan perang, memungut pajak dan zakat dan bahkan jihad, tidak berkaitan atau tidak mencerminkan fungsi Nabi sebagai utusan Allah. Baginya, Islam adalah entitas keagamaan yang bertujuan membangun kesatuan masyarakat yang diikat oleh keyakinan bersama, melalui dakwah agama.
Dalam bukunya tersebut tersirat bahwa Ali Abd al-Raziq tidak bermaksud mengatakan bahwa Islam sama sekali tidak perlu membentuk pemerintahan. Sebaliknya, Islam tidak menolak perlunya suatu kekuasaan politik. Dalam alQur’an, menurutnya Tuhan menyatakan perlunya pembentukan suatu pemerintahan sebagai sarana esensial bagi umat Islam dalam perjuangan mereka untuk melindungi agama dan menyalurkan kepentingan-kepentingannya. Tapi ini tidak berarti bahwa pembentukan suatu pemerintahan menjadi ajaran pokok Islam. Ini jelas menunjukkan bahwa Ali menerima keberadaan otoritas politik dalam umat Islam. Tapi ia jelas menolak bahwa otoritas politik merupakan tuntutan syariah atau bentuk organisasi politik yang wajib ada secara keagamaan. Bahkan bagi Ali Abd al-Raziq pemerintahan kekhalifahan Islam merupakan fenomena historis murni yang pada dasarnya bersifat sekuler.
Menanggapi buku Ali Abd Rariqal-Islam wa Ushul al-Hukm, Leonard Binder (1988) dalam bukunya Islamic Liberalism : A Critique of Development Idiologies, menyatakan bahwa titik sentral karakter tantangan intelektual yang dimunculkan oleh Ali Abd. al-Raziq terhadap para Ulama tradisional al-Azhar dalam bukunya alIslam wa Ushul al-Hukm, adalah perbedaan antara makna komunitas politik dan pemerintahan. Dalam arti, apakah Umat Islam itu bisa dimaknai sebagai komunitas politik atau komunitas religius saja  dan apakah pemerintahan itu menjadi bagian dari risalah kenabian.
Tesis yang dilontarkan Ali Abd. al-Raziq yang secara tajam menyatakan bahwa Umat Islam adalah komunitas religius saja dan risalah tidak terkait dengan pemerintahan, diposisikan sebagai pemikiran liberal Mesir modern yang terbaik, dan sebagai bahan perdebatan politik yang menarik. Buku itu, berikut reaksi resmi terhadapnya banyak menarik perhatian pada tahun 1925 sewaktu diterbitkannya untuk pertama kalinya. Banyak sejarahwan pemikiran Mesir yang mengupasnya, terutama Albert Hourani dalam karyanya Arabic Thought in Liberal Age,1798-1939, dan Muhammad Imarah dalam al-Islam wa Ushul al Hukm Ali Abd al-Raziq.
Kedua penulis di atas sama-sama memperdebatkan konteks historis terbitnya buku al-Raziq. Menurut Imarah, karya Ali Abd. al-Raziq bermuatan politik dan dimaksudkan untuk menolak argumen Rasyid Rida tentang kekhalifahan sekaligus mengacaukan pencalonan Raja Fuad dari Mesir menjadi Khalifah. Bagaimana potret historisitas karya al-Raziq itu? Negara baru Turki, pimpinan Kemal Ataturk, secara resmi membubarkan pemerintahan kekhalifahan tahun 1924, dan terjadilah kompetisi yang terkendali namun sangat mencekam di kalangan sejumlah penguasa Arab untuk menguasai gelar tersebut, atau untuk mencegah agar tidak dikuasai pihak lain.
Isu kekhalifahan mengemuka sebagai permasalahan politik yang penting menjelang berakhirnya kekaisaran Ottoman, karena simbol kepemimpinan spiritual kaum Muslim ini melayani kepentingan pemerintahan Ottoman, bahkan ketika kekuasaannya atas wilayah yang dihuni kaum Muslim di Eropa Timur sudah melemah. Isu tersebut bertiup lebih kencang lagi dengan adanya organisasi pergerakan di kalangan Muslim India untuk melindungi kekhalifahan dari serangan brutal kekuatan-kekuatan asing dalam Perang Dunia I. Para pemimpin gerakan-gerakan tersebut mendukung upaya sebagian bangsa Arab yang berminat dengan peluang didapatnya keuntungan politik dari pengukuhan kembali kekhalifahan Arab.
Ulama yang dimintai pendapat untuk persoalan ini sepertinya memberi tanggapan dengan sangat hati-hati. Raja Fuad dari Mesir adalah yang secara khusus berkepentingan untuk mendapatkan gelar khalifah, sementara dia mampu memanfaatkan pengaruh kerajaan atas alAzhar untuk mewujudkan keinginannya itu. Rasyid Rida, murid Muhammad Abduh, salah satu yang terpanggil untuk menerbitkan artikel tentang kekhalifahan dalam al-Manar pada musim semi 1925. Situasi historis yang demikian itu yang menjadi latar belakang terbitnya karya al-Raziq, yang dimaksudkan sebagai antitesa terhadap wacana kekhalifahan saat itu.
Pada hari setelah Dewan Ulama melancarkan kecaman terhadap al-Raziq, dia diwawancarai oleh wartawan Bourse Egyptienneyang memintanya menjelaskan inti permasalahan yang dibahas dalam bukunya. Al-Raziq menjawab : “ gagasan utama dalam buku saya, yang telah membuat saya banyak dikecam adalah bahwa Islam tidak menetapkan bentuk rezim atau pemerintahan tertentu bagi kaum Muslim menurut persyaratan yang dibuat oleh sistem itu sediri : Islam justru memberi kita kebebasan untuk membentuk negara sesuai dengan kondisi intelektual, sosial dan ekonomi di sekeliling kita, dengan mempertimbangkan perkembangan sosial dan tuntutan jaman.”
Dari sini pertanyaannya kemudian mengarah secara khusus kepada masalah kekhalifahan, dan Ali Abd. al-Raziq mengulang pendapatnya bahwa kekhalifahan bukan rezim negara, bahwa lembaga ini tidak disyaratkan dalam Islam, dan bahwa terlepas dari niat para khalifah – tidaklah mungkin ada pengganti, atau khalifah yang mengantikan kedudukan Rasulullah, karena Rasul tidak pernah menjadi raja, dan tidak pernah berusaha mendirikan sebuah negara ataupun pemerintahan. Dia adalah pembawa pesan yang diutus oleh Allah, dan dia bukan pemimpin politik.” Lebih lanjut al-Raziq menjelaskan, bahwa Rasul memang dapat menangani persoalanpersoalan politik umatnya, namun menurut alRaziq, Rasul tugas yang unik yang tidak bisa didelegasikan kepada orang lain, karena berhubungan dengan potensi kenabian yang hanya dimiliki olehnya par exellence. Sehingga pasca Rasul, tidak akan ada lagi model kepemimpinanyang sama dengan model kepemimpinan Rasul. Khalifah yang dimaknai sebagaikepemimpinan pengganti Rasul sungguh tidak masuk akal.
Urusan politik adalah urusan dunia yang tidak terkait langsung dengan agama, bahkan terpisah sama sekali dengan agama. Menurut al-Raziq, adalah masuk akal jika dunia akan menganut satu agama dan bahwa semua umat manusia dapat diatur dalam satu kesatuan agama. Namun, lanjut al-Raziq, kepenganutan seluruh dunia pada satu pemerintahan dan dikelompokkan pada satu kesatuan politik bersama akan bertentangan dengan sifat dasar manusia dan tidak terkait dengan kehendak Tuhan.
Karena hal itu merupakan tujuan duniawi, dan Tuhan telah menyerahkan urusannya kepada manusia untuk memikirkannya. Bahkan Ali Abd al-Raziq membangun tesisnya yang fundamental, bahwa Muhammad Rasulullah tidak mempunyai hak apa-apa atas umatnya selain hak risalah. Kalau saja Rasulullah seorang raja, kata al-Raziq, tentunya dia jugamempunyai hak-hak seorang raja atas umatnya.
Dan melihat fenomena kekuasaan raja pasca wafatnya Rasulullah, dengan tegas ia menyatakan : “Seorang raja tidak memiliki hak risalah, keutamaannya bukan keutamaan risalah, keagungannya bukan keagungan risalah”.
Al-Qur’an, kata al-Raziq, dengan gamblang menerangkan bahwa Muhammad tidak lain hanya seorang rasul yang tidak ada rasul lain sesudahnya Ia juga menjelaskan bahwa Muhammad tidak mempunyai tugas lain selain menyampaikan risalah Allah kepada manusia. Dan ia tidak dibebani apa-apa selain agar menyampaikan risalah itu, dan ia tidak berkewajiban memaksa manusia agar menerima apa yang dia bawa.
Dengan bersikukuh bahwa Rasulullah bukanlah pemimpin politik, dan bahwa khalifah bukan penerus Rasulullah, al-Raziq mengingkari adanya peralihan legitimasi politik dari Rasulullah kepada khalifah. Tampaknya dia berkeyakinan bahwa komunitas beragama yang memiliki kesamaan keyakinan berkat misi dakwah Rasulullah tidak memiliki dimensi politik. Kegigihannya mempertahankan pendapat bahwa Muhammad bukan pemimpin politik tentunya nyaris tidak dapat diterima, baik dari sudut pandang historis maupun tradisional (Jumni, 2014: 79-81).

C.       Pandangan Ali Abd Al Raziq tentang Khalifah
Pokok-pokok Pikiran Ali Abd al Raziq :
1.            Masalah Khilafah
Sepeninggal Nabi pada tahun 632 M., kaum muslimin mencapai konsensus dan memilih Abu Bakar al-Shiddiq menjadi khalifah Rasulullah Saw. Dialah khalifah pertama dalam sejarah Islam yang kemudian diikuti oleh khalifah kedua dan seterusnya bermunculan khalifah-khalifah di sepanjang perjalanan sejarah Islam. Jadi, wajar saja bila kaum muslimin menaruh perhatian yang sangat besar terhadap masalah kekhalifahan.
Dalam pandangan ulama Islam, khilafah adalah kepemimpinan umum untuk urusan agama dan dunia sebagai pengganti Nabi. Keadaan ini didukung oleh kenyataan bahwa semua kekuasaan politik dalam Islam pasca Nabi selalu menisbatkan diri kepada ajaran-ajaran Alquran serta mengklaim bertanggung jawab untuk menjaga ajaran-ajaran tersebut. Semua itu memaksakan suatu pandangan bahwa Islam adalah agama sekaligus negara (dunia), dan di antara keduanya tidak dapat dipisahkan.
Berbeda dengan pandangan mayoritas ulama di atas, Ali Abdul Raziq berpendapat bahwa Islam itu tidak ada kaitannya sedikit pun dengan kekhalifahan, karena kekhalifahan bukanlah suatu sistem yang Islamis atau bercorak keagamaan. Ia hanyalah sistem keduniaan yang sepenuhnya berbeda dengan agama serta memiliki tujuan-tujuan yang bercorak dunia. Ali Abdul Raziq mengutip suatu riwayat yang menceritakan bahwa ketika jabatan khalifah ditawarkan kepada Abu Bakar, diusulkan dengan sebutan Khalifah Allah, tetapi Abu Bakar menolaknya dan berkata: Aku bukan khalifah Allah melainkan khalifah Rasulullah. Dengan demikian, maksud khalifah bagi Abu Bakar adalah mengurus kepentingan rakyat yang berhubungan dengan dunia.
Bagi Ali Abdul Raziq, baik Alquran maupun hadis tidak pernah menyebutkan term khalifah dalam pengertian pemimpin negara. Term ulil amri yang termuat dalam Alquran surat an-Nisa (4) : 59 diartikannya sebagai para tokoh Islam di masa Rasulullah dan masa sesudahnya, termasuk para khalifah, para qadhi, para komandan perang dan bahkan para ulama. Untuk itu, tidak tepat jika ayat tersebut dijadikan dasar yang mewajibkan pengangkatan khalifah, karena ayat tersebut hanya menunjukkan bahwa di kalangan kaum muslimin terdapat sekelompok orang yang menjadi panutan bagi beberapa pesoalan yang muncul. Dengan demikian, ayat itu lebih luas daripada memberikan keputusan tentang wajibnya mendirikan khilafah.
Selanjutnya, hadis nabi yang menyatakan الأمة من قريش (Imam itu berasal dari suku Quraisy) menurut Ali Abdul Raziq juga tidak sesuai dijadikan kewajiban mendirikan lembaga khilafah. Persoalan ijma’ (konsensus ulama) tetap diakuinya, tetapi pengangkatan para khalifah setelah Nabi Saw. tidak pernah dilandasi dengan ijma’ulama.
Pokok-pokok pikiran Ali Abdul Raziq tentang khilafah dikritik habis-habisan oleh Dhiyauddin al-Rais. Menurut Dhiyauddin, wajibnya menegakkan kekhilafahan merupakan  ijma’ (konsensus) para sahabat dan kaum muslimin, pengakuan syara’ terhadap prinsip ijma merupakan pengakuan  terhadap aspirasi ummat secara menyeluruh, seperti yang dinyatakan oleh para mujtahid, sepanjang kekhalifahan itu telah ditetapkan dengan prinsip ijma’, maka tidak perlu untuk membicarakannya melalui prinsip lain, sebab prinsip ijma’ itu sendiri berdasarkan Alquran dan hadis serta selamanya berkaitan dengan keduanya. Dengan demikian, menurut Dhiyauddin bahwa Ali Abdul Raziq tidak memahami makna prinsip ijma’ yang telah ditetapkan para ulama Islam.
Perbedaan pendapat antara Ali Abdul Raziq dan Dhiyauddin disebabkan perbedaan pandangan mereka tentang ijma’. Ali Abdul Raziq memahami bahwa umat Islam sama sekali tidak pernah mencapai konsensus dalam memilih khalifah yang mana pun dan juga pada masa kapan pun. Namun Dhiyauddin memandang ijma’ yang dimaksud adalah kesepakatan para sahabat dan kaum muslimin terhadap wajibnya menegakkan kekhilafahan. Dengan demikian, ijma’nya berhubungan dengan kekhilafahan, bukan atas siapa orang yang akan dipilih.
2.            Islam dan Pemerintahan
Ali Abdul Raziq dalam bukunya al-Islam wa Ushul al-Hukm menyebutkan bahwa seluruh apa yang dibawa oleh Rasulullah hanyalah semata-mata syariat keagamaan yang murni untuk Allah. Ia tidak memiliki kepentingan apapun dengan masalah yang bersifat keduniaan sama sekali. Akan halnya masalah masyarakat, politik maupun pemerintahan. Semuanya itu adalah persoalan dunia. Oleh karena itu, dalam ajaran Islam tidak terdapat ketentuan tentang corak negara. Nabi Muhammad Saw. menurutnya hanya mengemban tugas dan misi rasul dan tidak membawa misi untuk membentuk negara.
Persoalan kemudian adalah apakah pendirian negara di Madinah oleh Nabi berikut pengawasannya yang dapat diartikan sebagai tugas pemerintahan merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari tugas-tugas kerasulannya? Pertanyaan seperti ini dijawabnya dengan mengemukakan bahwa pemerintahan Nabi bukanlah bagian dari tugas kerasulannya, melainkan tugas yang terpisah dan berada di luar dari misi yang diembannya. Pemerintahan yang pernah dibentuk oleh Nabi, kata Ali Abdul Raziq adalah urusan dunia yang tidak ada kaitannya dengan tugas kerasulannya. Untuk memperkuat pendapatnya ini, Ali Abdul Raziq mengutip beberapa ayat Alquran, antara lain sebagai berikut :
·      Surat Ali Imran (3): 144, yang artinya, Muhammad Saw. hanyalah seorang Rasul yang kelak didahului oleh wafatnya rasul-rasul yang lain.
·      Surat al-Ghasyiah (88): 21, yang maksudnya, Rasulullah hanyalah bertugas menyampaikan risalah Allah kepada umat manusia.
Di samping mengutip ayat-ayat Alquran, ia juga menggunakan argumen hadis nabi riwayat Muslim.(Hadis tersebut berbunyi : 
انتم اعلم بأمور دنياكم  (Kamulah yang paling tahu tentang urusan duniamu). Dari ayat-ayat dan hadis, Ali Abdul Raziq memahami bahwa soal negara atau pemerintahan adalah urusan dunia, karena itu terserah kepada manusia dengan cara apa dan bagaimana mengaturnya.
Sehubungan dengan pikiran-pikiran Ali Abdul Raziq ini, kembali Dhiyauddin memberikan kritikan yang tajam. Menurutnya, Ali Abdul Raziq memulai pokok-pokok pikiran dan keyakinannya yang keliru, yakni suatu keyakinan atau motivasi yang sepenuhnya menafikan hakikat sistem, syariat dan tujuan Islam. Dengan demikian, maka Islam dipahami hanyalah seruan keagamaan belaka tanpa ada pelaksanaannya. Argumentasi yang digunakan Ali Abdul Raziq adalah ayat-ayat Alquran periode Mekah, sedangkan pada periode ini kaum muslimin masih berada di bawah tekanan pemerintah kafir Quraisy, sehingga tidak mungkin bagi mereka untuk melaksanakan syariat dalam kehidupan nyata. Akan halnya periode sesudah itu, negara Islam sudah terbentuk dan syariat pun telah sempurna diturunkan, sehingga Rasulullah Saw. dan kaum muslimin dapat melaksanakan perintah-perintah yang disyariatkan Allah yang dibuktikan oleh sejarah. Selanjutnya, Dhiyauddin mengutip beberapa ayat Alquran yang memerintahkan Rasulullah Saw. untuk merealisasikan risalahnya, seperti QS. al-Tahrim (66) : 9, QS. al-Anfal (8) : 57 dan QS. al-Maidah (5) : 58.
Pendirian penulis, kehidupan agama (dalam hal ini Islam) dengan kehidupan negara tidak mungkin dipisahkan. Keduanya mempunyai hubungan yang erat. Salah satu doktrin Alquran yang memperkuat doktrin ini adalah hablun min Allah wa hablun hablun min al-nas (QS. Ali Imran (3): 112), artinya hubungan manusia dengan Allah dan hubungan manusia dengan manusia merupakan satu kesatuan. Untuk itu, masalah hubungan agama (Islam) dan negara harus  ditempatkan dalam konteks ini. Meskipun Alquran dan sunnah Rasul tidak menentukan bagaimana bentuk pemerintahan Islam, tetapi prinsip-prinsip umumnya sudah digariskan. Karena itu, manusia diberikan kewenangan dan kebebasan untuk memilih dan menentukan sendiri bentuk pemerintahan apa yang paling baik bagi mereka.
Pemikiran Ali Abdul Raziq, tampaknya mendapat  kritikan keras dari kalangan ulama Mesir, khususnya al-Azhar. Tantangan dan protes keras itu terjadi dalam rapat Majelis  Ulama Besar al-Azhar pada tanggal 12 Agustus 1925, yang dihadiri sebanyak 24 orang ulama al-Azhar. Di sinilah diputuskan bahwa isi buku al-Islam wa Ushul al-Hukm telah bertolak keluar  dari seorang muslim, apalagi dari seorang ulama. Ali Abdul Raziq akhirnya dikeluarkan dari jajaran ulama al-Azhar (http://harismubarak.blogspot.co.id/2012/09/ali-abdul-al-raziq-pemikir-dalam_9270.html, diakses pada tanggal 11 Mei 2016).
D.      ALI ABD AL RAZIQ DAN KONSEP NEGARA
Dari buku yang dikarang oleh Ali Abd Raziq dapat dipahami beberapa hal penting antara lain: Ali Abd al Raziq tidak memberikan defenisi khusus tentang negara, beliau hanya menyatakan negara hanya secara global tidak terperinci atau hanya universal.
Menurutnya negara yang mementingkan agama, dalam negara ini agama di pentingkan negara hanya urusan duniawi tidak menyangkut urusan berkepentingan. Maksudnya negara berkepentingan pada agama, tegasnya agama berguna bagi negara dan agama pun berkepentingan pada negara yang kuat akan memperkuat agama.
Disini dipahami bahwa beliau memisahkan antara agama dan negara namun keduanya saling membutuhkan. Ali Abd al Raziq berpendapat bahwa, bentuk negara yang tepat yaitu republic karena republik lebih cocok disamping beliau pernah mendirikan partai-partai politik dan lebih cenderung pada liberalisme atau sekekulerisme.
Prinsip dasar kekuasaan Negara menurut Ali Abd al Raziq adalah demokrasi karena masyarkat yang akan memilih pemimpin mereka dan kekuasaanya ada di tangan rakyat tidak ada di tangan Tuhan. Karena Negara hanya urusan duniawi saja tidak menyangkut urusan agama. Jadi hanya rakyatlah yang mempunyai kekuasaan yang absolut pemimpin hanya melaksanakan tugas - tugas yang di amanatkan oleh rakyat karena Negara kebutuhan duniawi jadi menurut Ali Abd al Raziq demokrasilah yang paling pantas untuk prinsip dasar kekuasaan.
Dengan demikian negara yang ideal menurut Ali Abd al Raziq ialah negara yang berasaskan humanisme universal yang memperjuangkan rakyatnya, demokrasi dan keadilan sosial, yaitu negara sekuler bagi kaum muslimin dan non muslim yang hidup di negara itu. Negara yang berasaskan humanisme universal dan sistem demokrasi di tunjang oleh rakyat yang berdaulat dalam rangka mencapai kemajuan dan keadilan sosial tanpa melibatkan agama.
















BAB III
PENUTUP
A.      Kesimpulan
1.         Ali Abd al-Raziq lahir di Menya, Mesir. Pada tahun 1888 dan wafat tahun 1966. Dia adalah seorang tokoh fiqhi siyasiy (politik) dari Mesir, khususnya politik hukum dan pemerintahan dalam Islam.
2.         Ali Abdul Raziq mempunyai pemikiran yang ditantang banyak kalangan, terutama para pemikir pembaharu Islam. Pemikirannya tertuang dalam sebuah buku berjudul Al-Islam Wa Ushulul AlHukum yang diterbitkan pada tahun 1925. Pemikirannya yang tertuang dalam buku tersebut adalah tentang sekularisme, yaitu memisahkan antara agama dan negara. Dia berpendapat bahwa agama tidak ada kaitannya sama sekali dengan negara.
Dalam bukunya tersebut tersirat bahwa Ali Abd al-Raziq tidak bermaksud mengatakan bahwa Islam sama sekali tidak perlu membentuk pemerintahan. Sebaliknya, Islam tidak menolak perlunya suatu kekuasaan politik.
3.         Menurut Ali Abd al-Raziq, realitas sejarah Islam tidaklah memberikan keharusan bentuk organisasi politiknya bernama khilafah dan pimpinannya disebut sebagai khalifah. Hal ini dapat dilihat dengan hilangnya peran kedaulatan rakyat dalam proses politik dan terbentuknya sistem khilafah yang berdasarkan keturunan sebagai refleksi hilangnya essensi ajaran Islam dari amaliah di bidang politik.
Gagasan politik al-Raziq yang demikian itu terlahir sebagai akibat bergolaknya revolusi politik yang telah memisahkan kekuasaan politik keagamaan yang begitu mendominasi di dunia Islam, terutama yang terdekat dengan lingkar kehidupannya seperti revolusi Turki 1925 dengan bentuk sekularismenya, serta timbulnya nasionalisme Arab yang telah melahirkan kerajaan.
Kiranya kondisi sosio-politik yang demikian inilah yang mendorong hingga ia berteori perlunya pemisahan antara agama dan negara (politik). Tampaknya dengan teorinya ini, ia ingin menemukan konsep politik yang Islami, namun dibahasakan dengan perlunya pemisahan antara agama dan politik yang keduanya tidak mungkin dapat disatukan. Menurutnya agama bersifat sakral, sedangkan politik bersifat lebih profan.
4.         Ali Abd al Raziq berpendapat bahwa, bentuk negara yang tepat yaitu republic karena republik lebih cocok disamping beliau pernah mendirikan partai-partai politik dan lebih cenderung pada liberalisme atau sekekulerisme.
Prinsip dasar kekuasaan Negara menurut Ali Abd al Raziq adalah demokrasi karena masyarkat yang akan memilih pemimpin mereka dan kekuasaanya ada di tangan rakyat tidak ada di tangan Tuhan. Karena Negara hanya urusan duniawi saja tidak menyangkut urusan agama. Jadi hanya rakyatlah yang mempunyai kekuasaan yang absolut pemimpin hanya melaksanakan tugas - tugas yang di amanatkan oleh rakyat karena Negara kebutuhan duniawi jadi menurut Ali Abd al Raziq demokrasilah yang paling pantas untuk prinsip dasar kekuasaan.









DAFTAR PUSTAKA
Nelli, Jumni (2014) “Pemikiran Politik Ali Abd Al Raziq”. AN-NIDA : JURNAL PEMIKIRAN ISLAM. 39 (1), 76-90.
Kabuju, Doro. Dunia Islam Modern. http://dorokabuju.blogspot.co.id/2012/02/ali-abd-al-raziq-khilafah-dan.html, diakses 10 Mei 2016.
http://harismubarak.blogspot.co.id/2012/09/ali-abdul-al-raziq-pemikir dalam_9270.html, diakses pada tanggal 11 Mei 2016.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar