I. Pendahuluan
Teologi Islam atau ilmu
kalam sebagai disiplin ilmu pengetahuan, baru muncul sekitar abad ke-3 Hijriah.
Hal ini sama sekali bukan berarti aspek akidah atau teologi tidak mendapat
perhatian dalam ajaran Islam atau ilmu-ilmu keislaman, bahkan sebaliknya dalam
agama Islam aspek akidah merupakan inti ajarannya (Ahmad, 1998: 141).
Pada waktu itu umat Islam
masih bersatu dalam segala persoalan pokok akidah, bersatu dalam memahaminya.
Umat Islam waktu itu tidak pernah berkeinginan untuk mengungkit persoalan
akidah yang telah tertanam dan berakar kuat di hati umat Islam. Umat Islam
terus mengisi ruangan sejarah yang terus berjalan hingga sejarah itu sendiri
memproduk beberapa persoalan yang muncul kemudian yang harus dihadapi umat
Islam, termasuk dengan munculnya persoalan-persoalan dalam masalah teologi.
Ketika Nabi Muhammad SAW
masih hidup, semua persoalan agama dapat ditanyakan kepada beliau secara
langsung. Dan jawaban dari persoalan tersebut dapat diperoleh secara langsung
dari Rasulullah SAW. Para sahabat dan kaum muslimin percaya dengan sepenuh
hati, bahwa apa yang diterima dan disampaikan oleh Nabi adalah berdasarkan
wahyu Allah. Dengan demikian, tak ada keraguan sedikitpun terutama
kebenarannya.
Dalam masalah akidah atau
teologi, umat Islam pada masa Nabi SAW tidak terjadi perpecahan atau
pengelompokan. Mereka semua bersatu dalam masalah akidah sampai pada masa dua
kepemimpinan khulafaur Rasyidin, yakni pada masa pemerintahan khalifah Abu
Bakar Ash-Siddik dan Khalifah Umar bin Khattab (Ahmad, 1998: 142). Karena pada
masa setelahnya umat Islam telah terusik nafsunya untuk mengambil pemahaman
secara sepihak menurut versi kelompoknya dalam masalah agama termasuk persoalan
akidah atau teologi yang dalam agama Islam merupakan ajaran pokok.
Persoalan teologi pertama
kali muncul ketika terjadi pembunuhan
Usman bin Affan sebagai khalifah yang sah pada waktu itu, dan dalam
pembunuhan itu yang terlibat langsung adalah umat Islam. Dari peristiwa itu
yang menjadi permasalahan adalah dosa apa yang telah diperbuat olehnya, dan
bagaimana dosanya bagi orang-orang yang membunuh beliau? Peristiwa pembunuhan
itu sebenarnya merupakan peristiwa politik karena mempunyai latar belakang yang
bermuatan politik, yakni sebagai tanggapan terhadap kebijaksanaan pemerintahan yang
dijalankan pada waktu itu.
Persoalan teologi yang
awalnya hanya membahas mengenai dosa, berkembang dan memunculkan pula perbedaan
mengenai kekuatan akal, fungsi wahyu, kebebasan atau kehendak dan perbuatan
manusia, kehendak mutlak dan keadilan Tuhan. Dalam konteks inilah makalah ini
dikemukakan untuk membahas mengenai perbedaan-perbedaan dari berbagai aliran
yang muncul mengenai kehendak mutlak dan keadilan Tuhan karena perbedaan sudut
pandang dan pola pikir dalam menyikapi berbagai persoalan.
II.
Pembahasan
A. Keadilan Tuhan
Kata adil berasal dari bahasa
arab yang berarti pertengahan, lurus atau condong kepada kebenaran. Dalam Kamus
Besar Bahasa Indonesia adil berarti : tidak berat sebelah (tidak
memihak) atau sepatutnya, tidak sewenang-wenang, meletakkan sesuatu pada
tempatnya.
Namun,
aliran-aliran kalam mempunyai pandangan dan faham yang berbeda dalam memaknai
keadilan Tuhan dalam pemikiran kalam. Perbedaan tersebut menyebabkan perbedaan
penerapan makna keadilan, yang sama-sama disepakati mengandung arti meletakkan
sesuatu pada tempatnya. Aliran kalam rasional yang menekankan kebebasan manusia
cenderung memahami keadilan Tuhan dari sudut kepentingan. Sedangkan aliran
kalam tradisional yang memberikan tekanan pada ketidakbebasan manusia di tengah
kekuasaan dan kehendak mutlak Tuhan, cenderung memaknai keadilan Tuhan dari
sudut Tuhan sebagai pemilik alam semesta.
1.
Aliran
Mu’tazilah
Adil dalam
Aliran Mu’tazilah merupakan salah satu dari lima pokok dasar aliran Mu’tazilah yaitu Al-Adlu. Menurut Mu’tazilah, dasar
keadilan ialah meletakkan pertanggungjawaban
manusia atas segala perbuatannya. Tuhan tidak menghendaki keburukan, tidak
mencipta perbuatan manusia, manusia bisa mengerjakan perintah-perintahNya dan
meninggalkan larangan-laranganNya, karena Qodrat (kekuasaan) yang
dijadikan Tuhan pada diri mereka. Ia tidak memerintah kecuali apa yang
dikehendaki-Nya dan tidak melarang kecuali apa yang diperintahkan-Nya dan tidak
tahu menahu (bebas) dari keburukan-keburukan yang dilarang-Nya (Hanafi, 1986:
43).
Menurutnya,
menghendaki keburukan atau kedzaliman tidak sesuai dengan kebijaksanaan Tuhan
dan keadilan-Nya. Tuhan menghendaki kebaikan, karena perbuatan itu baik dan
lebih baik untuk hambaNya. Sebaliknya Ia tidak menghendaki keburukan, karena
perbuatan tersebut buruk dan berbahaya bagi hambaNya. Sesuatu yang tidak
dikatakan baik dan buruk, ialah suatu perbuatan dimana Tuhan tidak
menghendakinya atau membencinya, tetai diserahkan kepada pertimbangan akal
manusia semata-mata. Karena itu Tuhan tidak menghendaki kekafiran untuk
manusia, sebab kalau benar-benar ia menghendaki, tentulah ia tidak melarang
kekafiran. Tuhan menghendaki kebaikan dan petunjuk bagi semua hambaNya dan
memberikan jalan-jalanNya. Tetapi manusia sendiri dengan kehendakNya memilih
segi-segi baik atau segi-segi buruk. Dengan demikian, pahala dan siksa ada
artinya.
Bagi Aliran Mu’tazilah
prinsip keadilan ialah semua perbuatan tuhan bersifat keadilan semata-mata,
tidak ada satu perbuatanpun yang bisa dikatakan salah satu dhalim. Karena itu
kejahatan tidak mungkin ada pada perbuatan Tuhan. Sebagaimana firman Allah :
ذَلِكَ بِمَا قَدْ مَتْ اَيْدِيْكُمْ وَاَنَّ اللهَ لَيْسَ بِظَلَّامٍ
لِلْعَبِيْدِ
“Demikian
itu disebabkan atas perbuatan tanganmu sendiri, dan sesungguhnya Allah tidak
mendzalimi tangan-tangan hamba-Nya” (Q.S
Al-Imran [3] : 182).
Aliran Mu’tazilah juga berpendapat Tuhan itu maha adil, antaranya
tidak mengerjakan sesuatu kecuali ada tujuannya, maka ia tidak lain hanya
menghendaki kebaikan manusia. Kalau kita melihat bermacam-macamnya keburukan
dalam dunia ini dan kita tidak bisa mengetahui tujuannya, maka tidak berarti
Tuhan menghendaki keburukan-keburukan itu sendiri. Satu-satunya tafsiran ialah
bahwa akal manusia tidak sanggup mengetahui semua sebab dan tujuan-tujuannya.
2.
Aliran Asy’Ariyah
Pendapat aliran Asy’ariyah tentang
keadilan Tuhan didasarkan atas pikiran mereka tentang Iradah (kehendak)Nya.
Menurutnya Tuhan mengadakan kebaikan dan keburukan dan menghendakinya pula.
Mereka juga mengatakan, bahwa baik dan buruk adalah gambaran pikiran (I’tibariyah).
Perbuatan-perbuatan sendiri tidak mempunyai sifat-sifat baik dan buruk.
Sumber baik dan buruk adalah Syara’ semata-mata. Apa yang dikatakan syara’ baik
dan diperintahkan adalah baik, sebaliknya apa yang dikatakan buruk dan dilarang
adalah buruk. Jadi menurut mereka adanya baik dan buruk yang diadakan, tetapi
tidak mengakui ada baik dan buruk yang berdiri sendiri (Hanafi, 1986: 145).
Kaum Asy’Ariyah percaya pada kemutlakan kekuasaan
Tuhan, sehingga berpendapat bahwa perbuatan-perbuatan Tuhan tidak mempunyai
tujuan. Sebab, yang mendorong Tuhan untuk berbuat sesuatu semata-mata karena
kekuasaan dan kehendak mutlak-Nya, bukan karena kepentingan atau tujuan lain.
Mereka mengartikan keadilan dengan
menempatkan segala sesuatu di tempat yang sebenarnya, yaitu mempunyai kekuasaan
mutlak terhadap harta yang dimiliki serta mempergunakan sesuai kehendaknya
(Rozak dan Anwar, 2012: 221). Sebagaimana firman Allah :
وَلَوْشَاءَاللهُ
مَااقْتَتَلَ الَّذِيْنَ مِنْ بَعْدِمَاجَاءَتْهُمُ الْبَيِنَتُ وَلَكِنِ اخْتَلَفُوْافَمِنْهُمْ
مَنْ اَمَنَ وَمِنْهُمْ مَنْ كَفَرَوَلَوْشَاءَاللهُ مَااقْتَتَلُوْاوَلَكِنَّ
اللهَ يَفْعَلُ مَايُرِيْدُ
“Kalau
Allah menghendaki, niscaya orang-orang setelah mereka tidak akan berbunuh-bunuhan,
setelah bukti-bukti sampai kepada mereka. Tetapi mereka berselisih, maka ada
diantara mereka yang beriman dan ada [pula] yang kafir. Kalau Allah
menghendaki, tidaklah mereka berbunuh-bunuhan. Tetapi Allah berbuat menurut
kehendak-Nya” (Q.S.
Al-Baqarah [1] : 253)
Dengan demikian, keadilan Tuhan mengandung arti bahwa Tuhan
mempunyai kekuasaan mutlak terhadap makhluk-Nya dan dapat berbuat sekehendak
hati-Nya. Tuhan dapat memberi pahala kepada hamba-Nya atau memberi siksa dengan
sekehendak hati-Nya dalam kerajaan-Nya. Itu semua adil bagi Tuhan.
Ketidakadilan, sebaliknya berarti “menempatkan sesuatu tidak pada tempatnya,
yaitu berkuasa mutlak terhadap hak milik orang”.
3.
Aliran Maturidiah
Tuhan dalam perbuatan-perbuatanNya
mesti memegangi prinsip keadilan dan anugerah. Maksudnya Adil adalah mengambil
yang baik (aslah) sedang anugerah (al-fadlu) ialah
mengambil/memberikan yang terbaik. Tuhan tidak menghendaki keburukan, Karena
kekuasaanNya bukanlah kekuasaan semena-mena, sebagaimana yang digambarkan
Asy’ariyah, tetapi suatu kekuasaan mutlak atas alam ini. Perbuatan dan
kehendak-Nya berlangsung sesuai hikmah dan keadilan yang sudah ditetapkan-Nya.
Tidak boleh mengartikan bahwa Ia boleh mengerjakan sesuatu yang menurut
pertimbangan akal pikiran buruk, seperti menyiksa orang baik. Perbuatan
tersebut tidak mungkin terjadi, sebab berarti menghapuskan segala norma-norma
akhlak dan akal pikiran dan berlawanan pula dengan ketentuan syara’ sendiri
yang menetapkan kebijaksanaan Tuhan dan keadilan-Nya (Hanafi, 1986: 150).
a.
Maturidiah Bukhara
Kaum Maturidiah golongan Bukhara
mempunyai sikap yang sama dengan Asy’ariyah. Menurutnya, tidak ada tujuan yang
mendorong Tuhan untuk menciptakan kosmos ini. Tuhan berbuat sekehendak
hati-Nya. Keadaan Tuhan bersifat bijaksana tidaklah mengandung arti bahwa
dibalik perbuatan-perbuatan Tuhan terdapat hikmat-hikmat. Dengan kata lain,
alam tidak diciptakan Tuhan untuk kepentingan manusia (Nasution, 2012: 124).
Dengan demikian posisi aliran
Maturidiah Bukhara dalam menginterpretasikan keadilan Tuhan adalah lebih dekat
dengan aliran Asy’ariyah. Masalah dalil yang dipakai pun sama.
b.
Maturidiah Samarkand
Kaum Maturidiah golongan Samarkand,
karena menganut paham free will dan free act, serta adanya
batasan bagi kekuasaan mutlak Tuhan, mempunyai posisi yang lebih dekat dengan
kaum Mu’tazilah. Menurutnya, keadilan erat hubungannya dengan hak, dan keadilan
diartikan member seseorang akan haknya. Kata-kata “Tuhan Adil” mengandung arti
bahwa segala perbuatan-Nya adalah baik, bahwa Ia tidak dapat berbuat yang
buruk, dan bahwa Ia tidak dapat mengabaikan kewajiban-kewajibanNya terhadap
manusia (Nasution, 2012: 124).
Aliran Maturidiah Samarkand
menggaris bawahi makna keadilan Tuhan sebagai lawan dari perbuatan dhalim Tuhan
terhadap manusia. Tuhan tidak akan membalas kejahatan kecuali dengan balasan
yang seimbang dengan kejahatan itu. Tuhan tidak akan menganiaya hamba-hambaNya
dan tidak akan mengingkari janji-janjiNya yng telah disampaikan kepada manusia
(Husni, 2015: www.slideshare.net). Abu
Mansur Al-Maturidi Pandangan tersebut didasarkan atas firman Allah :
مَنْ
جَاءَبِالْحَسَنَةِفَلَهُ عَشْرُ اَمْثَالِهَاوَمَنْ جَاءَبِالسَّيِّئَةِفَلَايُجْزَى
اِلَّامِثْلَهَاوَهُمْ لَايُظْلَمُوْنَ
”Barang siapa berbuat
kebaikan mendapat balasan sepuluh kali lipat amalnya. Dan barang siapa berbuat
kejahatan dibalas seimbang dengan kejahatannya. Mereka sedikitpun tidak
dirugikan (dizalimi)” (Q.S. Al-An’am
[6] : 160)
رَبَّنَااِنَّكَ
جَامِعُ النَّاسِ لِيَوْمٍ لَّارَيْبَ فِيْهِ اِنَّ اللهَ لَا يُخْلِفُ الْمِيْعَادَ
“Ya Tuhan kami,
Engkaulah yang mengumpulkan manusia pada hari yang tidak ada keraguan padanya.
Sungguh,Allah tidak menyalahi janji” (Q.S.
Al-Imran [3] : 9)
Ayat pertama ditafsirkan Al-maturidi
dengan mengatakan bahwa Allah tidak membalas perbuatan jahat seseorang, kecuali
dengan balasan yang setimpal dengan perbuatan jahatnya itu. Dan Allah tidak
menyalahi janji-Nya serta menganiaya hambaNya, lanjut al-Maturidi dalam member
tafsiran yang kedua.
B.
Kehendak Mutlak Tuhan
Sebagai akibat dari perbedaan paham
yang terdapat dalam aliran-aliran teologi Islam mengenai kekuatan akal, fungsi
wahyu dan kebebasan serta kekuasaan manusia, terdapat pula perbedaan paham
tentang kehendak mutlak Tuhan. Bagi aliran yang berpendapat bahwa akal
mempunyai daya besar dan manusia bebas dan berkuasa atas kehendak dan
perbuatannya, kehendak mutlak Tuhan pada hakikatnya tidak lagi bersifat mutlak
semutlak-mutlaknya. Bagi aliran yang berpendapat sebalinya, kehendak Tuhan
tetap bersifat mutlak.
1.
Aliran Mu’tazilah
Menurut aliran Mu’tazilah, kekuasaan
Tuhan bersifat tidak mutlak. Kekuasaan mutlak Tuhan telah dibatasi oleh
kebebasan oleh kebebasan yang telah diberikan kepada manusia dalam menentukan
kemauan dan perbuatan. Tuhan tidak bisa berbuat sekehendak-Nya, Tuhan telah
terikat pada norma-norma keadilan yang kalau dilanggar, membuat Tuhan bersifat
tidak adil bahkan dhalim. Kekuasaan dan kehendak mutlak Tuhan dibatasi
oleh kewajiban-kewajiban Tuhan terhadap manusia, dan kekuasan mutlak itu
dibatasi pula oleh hukum alam atau sunnah Allah (Nasution, 2012: 120).
Dengan demikian aliran Mu’tazilah
memandang, bahwa yang menciptakan perbuatan adalah manusia sendiri. Tidak ada
hubungannya dengan kehendak Tuhan, bahkan Tuhan menciptakan manusia sekaligus
menciptakan kemampuan dan kehendak pada diri manusia (Husni, 2015: www.slideshare.net).
Mu’tazilah menguatkan pendapat
mereka berdasarkan dalil aqli dan naqli. Secara aqli mereka
menyatakan bahwa seandainya manusia tidak diberi potensi oleh Tuhan, maka ia
tidak dibebani kewajiban. Sedangkan secara naqli mereka menguatkan
dengan beberapa ayat Al-Quran, antara lain Q.S Al-Ahzab ayat 62 :
سُنَّةَاللهِ
فىِ الَّذِيْنَ خَلَوْمِنْ قَبْلُ وَلَنْ تَجِدَ لِسُنَّةِاللهِ تَبْدِيْلاً
“Sebagai
sunnah Allah yang (berlaku juga) bagi orang-orang yang telah terdahulu
sebelum(mu), dan engkau tidak akan mendapati perubahan pada sunnah Allah”.
2.
Aliran Asy’ariyah
Tuhan menghendaki segala apa yang mungkin
dikehendaki, manusia tidak dapat menghendaki sesuatu, kecuali jika Tuhan
menghendaki manusia supaya menghendaki sesuatu itu (Nasution, 2012: 110). Tuhan
menghendaki apa yang ada, dan tidak menghendaki apa yang tidak ada. Dengan
perkataan lain apa yang ada artinya dikehendaki dan apa yang tidak ada artinya
tidak dikehendaki, Karena keburukan ada, maka berarti Tuhan menghendakinya.
Tuhan menghendaki kekafiran bagi manusia yang sesat dan menghendaki iman bagi
manusia yang mendapat petunjuk. Aliran Al-Asy’ari memperkuat pendapatnya pada
Q.S Al-An’am ayat 125 :
فَمَنْ
يُرِدِاللهُ اَنْ يَهْدِيَهُ يَشْرَحْ صَدْرَهُ لِلْاِسْلَامِ وَمَنْ يُرِدْاَنْ يُّضْلَّهُ
يَجْعَلْ صَدْرَهُ ضَيِّقاحَرَجاكَاَنَّمَا يَصَّعَّدُفِى السَّمَآءِ كَذَالِكَ يَجْعَلُ
اللهُ الرِّجْسَ عَلَى الَّذِيْنَ لَايُؤْمِنُوْنَ
“Barang siapa dikehendaki Allah akan mendapat hidayah (petunjuk),
Dia akan membukakan dadanya untuk (menerima) Islam. Dan barang siapa
dikehendaki-Nya menjadi sesat, Dia jadikan dadanya sempit dan sesak,
seakan-akan dia (sedang) mendaki ke langit. Demikianlah Allah menimpakan siksa
kepada orang-orang yang tidak beriman”.
3.
Aliran Maturidiah
a.
Maturidiah Bukhara
Tuhan mempunyai
kekuasaan mutlak, Tuhan berbuat apa saja yang dikehendaki-Nya dan menentukan
segala-galanya menurut kehendak-Nya. Tidak ada yang dapat menentang atau
memaksa Tuhan, dan tidak ada larangan-larangan terhadap Tuhan (Nasution, 2012:
121).
Tuhan mampu
berbuat apa saja yang dikehendaki-Nya dan menentukan segala-galanya menurut
kehendak-Nya. Oleh karena itu tidak ada kewajiban bagi Tuhan untuk berbuat
jahat, dan tidak ada pula kewajiban bagi-Nya memberi pahala bagi orang yang
berbuat baik. Semua yang dikerjakan manusia, baik, atau jahat, atas dasar
kehendak-Nya semata.
b.
Maturidiah Samarkand
Menurut Harun
Nasution (2012: 122) Maturidiah golongan Samarkand, tidaklah sekeras golongan
Bukhara dalam mempertahankan kemutlakan kekuasaan Tuhan, tetapi tidak pula
memberikan batasan sebanyak batasan yang diberikan Mu’tazilah bagi kekuasaan
mutlak Tuhan. Batasan-batasan yang diberikan golongan Samarkand ialah :
·
Kemerdekaan
dalam kemauan dan perbuatan menurut pendapat mereka, ada pada manusia.
·
Keadaan
Tuhan menjatuhkan hukuman bukan sewenang-wenang, tetapi berdasarkan atas
kemerdekaan manusia dalam mempergunakan daya yang diciptakan Tuhan dalam
dirinya untuk berbuat baik atau berbuat jahat.
·
Keadaan
hukuman-hukuman Tuhan, tak boleh tidak mesti terjadi.
Walaupun
golongan ini mengidentifikasikan adanya kemerdekaan dan kemauan pada manusia,
bukan berarti sama sekali menafikan kehendak Tuhan dalam diri manusia. Tuhan
masih ikut campur juga dalam menentukan perbuatan manusia, yaitu dengan
menciptakan daya yang terkandung dalam diri manusia. Untuk apa daya yang
dikandungnya itu dipergunakan, itulah wujud kehendak manusia. Seperti memilih
yang baik dan yang buruk. Dengan kata lain kebebasan kehendak manusia hanya
merupakan kebebasan memilih antara yang disukai dan tidak disukai oleh Tuhan.
III.
Penutup
Pangkal
persoalan kehendak mutlak dan keadilan Tuhan adalah keberadaan Tuhan sebagai
pencipta alam semesta. Sebagai pencipta alam, Tuhan haruslah mengatasi segala
yang ada, bahkan harus melampaui segala aspek yang ada. Ia adalah eksistensi
yang mempunyai kehendak dan kekuasaan yang tidak terbatas karena tidak ada eksistensi
lain yang mengatasi dan melampaui eksistensi-Nya. Inilah makna umum yang dianut
aliran-aliran kalam dalam memahami tentang kekuasaan dan kehendak mutlak Tuhan
(Rozak dan Anwar, 2007: 181).
Namun,
aliran-aliran kalam mempunyai pandangan dan faham yang berbeda dalam memaknai
keadilan Tuhan dalam pemikiran kalam. Perbedaan tersebut menyebabkan perbedaan
penerapan makna keadilan, yang sama-sama disepakati mengandung arti meletakkan
sesuatu pada tempatnya. Aliran kalam rasional yang menekankan kebebasan manusia
cenderung memahami keadilan Tuhan dari sudut kepentingan. Sedangkan aliran
kalam tradisional yang memberikan tekanan pada ketidakbebasan manusia di tengah
kekuasaan dan kehendak mutlak Tuhan, cenderung memaknai keadilan Tuhan dari
sudut Tuhan sebagai pemilik alam semesta.
Menurut Mu’tazilah, dasar
keadilan ialah meletakkan pertanggungjawaban
manusia atas segala perbuatannya. Tuhan tidak menghendaki keburukan, tidak
mencipta perbuatan manusia, manusia bisa mengerjakan perintah-perintahNya dan
meninggalkan larangan-laranganNya, karena Qodrat (kekuasaan) yang
dijadikan Tuhan pada diri mereka. Ia tidak memerintah kecuali apa yang
dikehendaki-Nya dan tidak melarang kecuali apa yang diperintahkan-Nya dan tidak
tahu menahu (bebas) dari keburukan-keburukan yang dilarang-Nya (Hanafi, 1986:
43). Pendapat aliran Asy’ariyah tentang keadilan Tuhan didasarkan atas pikiran
mereka tentang Iradah (kehendak)Nya. Menurutnya Tuhan mengadakan kebaikan dan
keburukan dan menghendakinya pula. Mereka juga mengatakan, bahwa baik dan buruk
adalah gambaran pikiran (I’tibariyah). Perbuatan-perbuatan sendiri tidak
mempunyai sifat-sifat baik dan buruk. Sumber baik dan buruk adalah Syara’
semata-mata. Apa yang dikatakan syara’ baik dan diperintahkan adalah baik,
sebaliknya apa yang dikatakan buruk dan dilarang adalah buruk. Jadi menurut
mereka adanya baik dan buruk yang diadakan, tetapi tidak mengakui ada baik dan
buruk yang berdiri sendiri (Hanafi, 1986: 145). Kaum Maturidiah golongan
Bukhara mempunyai sikap yang sama dengan Asy’ariyah. Menurutnya, tidak ada
tujuan yang mendorong Tuhan untuk menciptakan kosmos ini. Tuhan berbuat
sekehendak hati-Nya. Keadaan Tuhan bersifat bijaksana tidaklah mengandung arti
bahwa dibalik perbuatan-perbuatan Tuhan terdapat hikmat-hikmat. Dengan kata lain,
alam tidak diciptakan Tuhan untuk kepentingan manusia (Nasution, 2012: 124).
Kaum Maturidiah golongan Samarkand, karena menganut paham free will dan free
act, serta adanya batasan bagi kekuasaan mutlak Tuhan, mempunyai posisi
yang lebih dekat dengan kaum Mu’tazilah. Menurutnya, keadilan erat hubungannya
dengan hak, dan keadilan diartikan member seseorang akan haknya. Kata-kata
“Tuhan Adil” mengandung arti bahwa segala perbuatan-Nya adalah baik, bahwa Ia
tidak dapat berbuat yang buruk, dan bahwa Ia tidak dapat mengabaikan
kewajiban-kewajibanNya terhadap manusia (Nasution, 2012: 124).
Menurut aliran Mu’tazilah, kekuasaan
Tuhan bersifat tidak mutlak. Kekuasaan mutlak Tuhan telah dibatasi oleh
kebebasan oleh kebebasan yang telah diberikan kepada manusia dalam menentukan
kemauan dan perbuatan. Tuhan tidak bisa berbuat sekehendak-Nya, Tuhan telah
terikat pada norma-norma keadilan yang kalau dilanggar, membuat Tuhan bersifat
tidak adil bahkan dhalim. Kekuasaan dan kehendak mutlak Tuhan dibatasi
oleh kewajiban-kewajiban Tuhan terhadap manusia, dan kekuasan mutlak itu
dibatasi pula oleh hukum alam atau sunnah Allah (Nasution, 2012: 120). Pendapat
aliran Asy’ariyah mengenai kehendak mutlak Tuhan yaitu Tuhan menghendaki segala
apa yang mungkin dikehendaki, manusia tidak dapat menghendaki sesuatu, kecuali
jika Tuhan menghendaki manusia supaya menghendaki sesuatu itu (Nasution, 2012:
110). Menurut aliran Maturidiah Bukhara, Tuhan mempunyai kekuasaan mutlak,
Tuhan berbuat apa saja yang dikehendaki-Nya dan menentukan segala-galanya
menurut kehendak-Nya. Tidak ada yang dapat menentang atau memaksa Tuhan, dan
tidak ada larangan-larangan terhadap Tuhan (Nasution, 2012: 121). Menurut Harun
Nasution (2012: 122) Maturidiah golongan Samarkand, tidaklah sekeras golongan
Bukhara dalam mempertahankan kemutlakan kekuasaan Tuhan, tetapi tidak pula
memberikan batasan sebanyak batasan yang diberikan Mu’tazilah bagi kekuasaan
mutlak Tuhan.
BIBLIOGRAFI
Hanafi, Ahmad. 1986. Theology Islam. Jakarta: Bulan Bintang
Rozak, Abdul., & Rosihan Anwar. 2012. Ilmu Kalam. Bandung:
Pustaka Setia
Ahmad, Muhammad. 1998. Tauhid Ilmu Kalam. Bandung: Pustaka
Setia.
Nasution, Harun. 1986. Teologi Islam. Jakart: UI-Press
Rozak, Abdul., & Rosihan Anwar. 2007. Ilmu Kalam. Bandung:
Pustaka Setia.
Husni, Noviandy. Kehendak dan Keadilan Tuhan. www.slideshare.net,
diakses 20 Mei 2012
Tidak ada komentar:
Posting Komentar