HOME

SELAMAT DATANG DI BLOG RIZQI

Kamis, 16 Juni 2016

ILMU KALAM



I.       Pendahuluan
Teologi Islam atau ilmu kalam sebagai disiplin ilmu pengetahuan, baru muncul sekitar abad ke-3 Hijriah. Hal ini sama sekali bukan berarti aspek akidah atau teologi tidak mendapat perhatian dalam ajaran Islam atau ilmu-ilmu keislaman, bahkan sebaliknya dalam agama Islam aspek akidah merupakan inti ajarannya (Ahmad, 1998: 141).
Pada waktu itu umat Islam masih bersatu dalam segala persoalan pokok akidah, bersatu dalam memahaminya. Umat Islam waktu itu tidak pernah berkeinginan untuk mengungkit persoalan akidah yang telah tertanam dan berakar kuat di hati umat Islam. Umat Islam terus mengisi ruangan sejarah yang terus berjalan hingga sejarah itu sendiri memproduk beberapa persoalan yang muncul kemudian yang harus dihadapi umat Islam, termasuk dengan munculnya persoalan-persoalan dalam masalah teologi.
Ketika Nabi Muhammad SAW masih hidup, semua persoalan agama dapat ditanyakan kepada beliau secara langsung. Dan jawaban dari persoalan tersebut dapat diperoleh secara langsung dari Rasulullah SAW. Para sahabat dan kaum muslimin percaya dengan sepenuh hati, bahwa apa yang diterima dan disampaikan oleh Nabi adalah berdasarkan wahyu Allah. Dengan demikian, tak ada keraguan sedikitpun terutama kebenarannya.
Dalam masalah akidah atau teologi, umat Islam pada masa Nabi SAW tidak terjadi perpecahan atau pengelompokan. Mereka semua bersatu dalam masalah akidah sampai pada masa dua kepemimpinan khulafaur Rasyidin, yakni pada masa pemerintahan khalifah Abu Bakar Ash-Siddik dan Khalifah Umar bin Khattab (Ahmad, 1998: 142). Karena pada masa setelahnya umat Islam telah terusik nafsunya untuk mengambil pemahaman secara sepihak menurut versi kelompoknya dalam masalah agama termasuk persoalan akidah atau teologi yang dalam agama Islam merupakan ajaran pokok.
Persoalan teologi pertama kali muncul ketika terjadi pembunuhan  Usman bin Affan sebagai khalifah yang sah pada waktu itu, dan dalam pembunuhan itu yang terlibat langsung adalah umat Islam. Dari peristiwa itu yang menjadi permasalahan adalah dosa apa yang telah diperbuat olehnya, dan bagaimana dosanya bagi orang-orang yang membunuh beliau? Peristiwa pembunuhan itu sebenarnya merupakan peristiwa politik karena mempunyai latar belakang yang bermuatan politik, yakni sebagai tanggapan terhadap kebijaksanaan pemerintahan yang dijalankan pada waktu itu.
Persoalan teologi yang awalnya hanya membahas mengenai dosa, berkembang dan memunculkan pula perbedaan mengenai kekuatan akal, fungsi wahyu, kebebasan atau kehendak dan perbuatan manusia, kehendak mutlak dan keadilan Tuhan. Dalam konteks inilah makalah ini dikemukakan untuk membahas mengenai perbedaan-perbedaan dari berbagai aliran yang muncul mengenai kehendak mutlak dan keadilan Tuhan karena perbedaan sudut pandang dan pola pikir dalam menyikapi berbagai persoalan.

II.    Pembahasan
A.    Keadilan Tuhan
            Kata adil berasal dari bahasa arab yang berarti pertengahan, lurus atau condong kepada kebenaran. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia adil berarti : tidak berat sebelah (tidak memihak) atau sepatutnya, tidak sewenang-wenang, meletakkan sesuatu pada tempatnya.
Namun, aliran-aliran kalam mempunyai pandangan dan faham yang berbeda dalam memaknai keadilan Tuhan dalam pemikiran kalam. Perbedaan tersebut menyebabkan perbedaan penerapan makna keadilan, yang sama-sama disepakati mengandung arti meletakkan sesuatu pada tempatnya. Aliran kalam rasional yang menekankan kebebasan manusia cenderung memahami keadilan Tuhan dari sudut kepentingan. Sedangkan aliran kalam tradisional yang memberikan tekanan pada ketidakbebasan manusia di tengah kekuasaan dan kehendak mutlak Tuhan, cenderung memaknai keadilan Tuhan dari sudut Tuhan sebagai pemilik alam semesta.
1.      Aliran Mu’tazilah
Adil dalam Aliran Mu’tazilah merupakan salah satu dari lima pokok dasar aliran Mu’tazilah yaitu Al-Adlu. Menurut Mu’tazilah, dasar keadilan ialah meletakkan pertanggungjawaban manusia atas segala perbuatannya. Tuhan tidak menghendaki keburukan, tidak mencipta perbuatan manusia, manusia bisa mengerjakan perintah-perintahNya dan meninggalkan larangan-laranganNya, karena Qodrat (kekuasaan) yang dijadikan Tuhan pada diri mereka. Ia tidak memerintah kecuali apa yang dikehendaki-Nya dan tidak melarang kecuali apa yang diperintahkan-Nya dan tidak tahu menahu (bebas) dari keburukan-keburukan yang dilarang-Nya (Hanafi, 1986: 43).
Menurutnya, menghendaki keburukan atau kedzaliman tidak sesuai dengan kebijaksanaan Tuhan dan keadilan-Nya. Tuhan menghendaki kebaikan, karena perbuatan itu baik dan lebih baik untuk hambaNya. Sebaliknya Ia tidak menghendaki keburukan, karena perbuatan tersebut buruk dan berbahaya bagi hambaNya. Sesuatu yang tidak dikatakan baik dan buruk, ialah suatu perbuatan dimana Tuhan tidak menghendakinya atau membencinya, tetai diserahkan kepada pertimbangan akal manusia semata-mata. Karena itu Tuhan tidak menghendaki kekafiran untuk manusia, sebab kalau benar-benar ia menghendaki, tentulah ia tidak melarang kekafiran. Tuhan menghendaki kebaikan dan petunjuk bagi semua hambaNya dan memberikan jalan-jalanNya. Tetapi manusia sendiri dengan kehendakNya memilih segi-segi baik atau segi-segi buruk. Dengan demikian, pahala dan siksa ada artinya.
Bagi Aliran Mu’tazilah prinsip keadilan ialah semua perbuatan tuhan bersifat keadilan semata-mata, tidak ada satu perbuatanpun yang bisa dikatakan salah satu dhalim. Karena itu kejahatan tidak mungkin ada pada perbuatan Tuhan. Sebagaimana firman Allah :
ذَلِكَ بِمَا قَدْ مَتْ اَيْدِيْكُمْ وَاَنَّ اللهَ لَيْسَ بِظَلَّامٍ لِلْعَبِيْدِ
“Demikian itu disebabkan atas perbuatan tanganmu sendiri, dan sesungguhnya Allah tidak mendzalimi tangan-tangan hamba-Nya” (Q.S Al-Imran [3] : 182).
Aliran Mu’tazilah juga berpendapat Tuhan itu maha adil, antaranya tidak mengerjakan sesuatu kecuali ada tujuannya, maka ia tidak lain hanya menghendaki kebaikan manusia. Kalau kita melihat bermacam-macamnya keburukan dalam dunia ini dan kita tidak bisa mengetahui tujuannya, maka tidak berarti Tuhan menghendaki keburukan-keburukan itu sendiri. Satu-satunya tafsiran ialah bahwa akal manusia tidak sanggup mengetahui semua sebab dan tujuan-tujuannya.
2.      Aliran Asy’Ariyah
Pendapat aliran Asy’ariyah tentang keadilan Tuhan didasarkan atas pikiran mereka tentang Iradah (kehendak)Nya. Menurutnya Tuhan mengadakan kebaikan dan keburukan dan menghendakinya pula. Mereka juga mengatakan, bahwa baik dan buruk adalah gambaran pikiran (I’tibariyah). Perbuatan-perbuatan sendiri tidak mempunyai sifat-sifat baik dan buruk. Sumber baik dan buruk adalah Syara’ semata-mata. Apa yang dikatakan syara’ baik dan diperintahkan adalah baik, sebaliknya apa yang dikatakan buruk dan dilarang adalah buruk. Jadi menurut mereka adanya baik dan buruk yang diadakan, tetapi tidak mengakui ada baik dan buruk yang berdiri sendiri (Hanafi, 1986: 145).
Kaum  Asy’Ariyah percaya pada kemutlakan kekuasaan Tuhan, sehingga berpendapat bahwa perbuatan-perbuatan Tuhan tidak mempunyai tujuan. Sebab, yang mendorong Tuhan untuk berbuat sesuatu semata-mata karena kekuasaan dan kehendak mutlak-Nya, bukan karena kepentingan atau tujuan lain. Mereka  mengartikan keadilan dengan menempatkan segala sesuatu di tempat yang sebenarnya, yaitu mempunyai kekuasaan mutlak terhadap harta yang dimiliki serta mempergunakan sesuai kehendaknya (Rozak dan Anwar, 2012: 221). Sebagaimana firman Allah :
وَلَوْشَاءَاللهُ مَااقْتَتَلَ الَّذِيْنَ مِنْ بَعْدِمَاجَاءَتْهُمُ الْبَيِنَتُ وَلَكِنِ اخْتَلَفُوْافَمِنْهُمْ مَنْ اَمَنَ وَمِنْهُمْ مَنْ كَفَرَوَلَوْشَاءَاللهُ مَااقْتَتَلُوْاوَلَكِنَّ اللهَ يَفْعَلُ مَايُرِيْدُ
“Kalau Allah menghendaki, niscaya orang-orang setelah mereka tidak akan berbunuh-bunuhan, setelah bukti-bukti sampai kepada mereka. Tetapi mereka berselisih, maka ada diantara mereka yang beriman dan ada [pula] yang kafir. Kalau Allah menghendaki, tidaklah mereka berbunuh-bunuhan. Tetapi Allah berbuat menurut kehendak-Nya” (Q.S. Al-Baqarah [1] : 253)
Dengan demikian, keadilan Tuhan mengandung arti bahwa Tuhan mempunyai kekuasaan mutlak terhadap makhluk-Nya dan dapat berbuat sekehendak hati-Nya. Tuhan dapat memberi pahala kepada hamba-Nya atau memberi siksa dengan sekehendak hati-Nya dalam kerajaan-Nya. Itu semua adil bagi Tuhan. Ketidakadilan, sebaliknya berarti “menempatkan sesuatu tidak pada tempatnya, yaitu berkuasa mutlak terhadap hak milik orang”.
3.      Aliran Maturidiah
Tuhan dalam perbuatan-perbuatanNya mesti memegangi prinsip keadilan dan anugerah. Maksudnya Adil adalah mengambil yang baik (aslah) sedang anugerah (al-fadlu) ialah mengambil/memberikan yang terbaik. Tuhan tidak menghendaki keburukan, Karena kekuasaanNya bukanlah kekuasaan semena-mena, sebagaimana yang digambarkan Asy’ariyah, tetapi suatu kekuasaan mutlak atas alam ini. Perbuatan dan kehendak-Nya berlangsung sesuai hikmah dan keadilan yang sudah ditetapkan-Nya. Tidak boleh mengartikan bahwa Ia boleh mengerjakan sesuatu yang menurut pertimbangan akal pikiran buruk, seperti menyiksa orang baik. Perbuatan tersebut tidak mungkin terjadi, sebab berarti menghapuskan segala norma-norma akhlak dan akal pikiran dan berlawanan pula dengan ketentuan syara’ sendiri yang menetapkan kebijaksanaan Tuhan dan keadilan-Nya (Hanafi, 1986: 150).
a.      Maturidiah Bukhara
Kaum Maturidiah golongan Bukhara mempunyai sikap yang sama dengan Asy’ariyah. Menurutnya, tidak ada tujuan yang mendorong Tuhan untuk menciptakan kosmos ini. Tuhan berbuat sekehendak hati-Nya. Keadaan Tuhan bersifat bijaksana tidaklah mengandung arti bahwa dibalik perbuatan-perbuatan Tuhan terdapat hikmat-hikmat. Dengan kata lain, alam tidak diciptakan Tuhan untuk kepentingan manusia (Nasution, 2012: 124).
Dengan demikian posisi aliran Maturidiah Bukhara dalam menginterpretasikan keadilan Tuhan adalah lebih dekat dengan aliran Asy’ariyah. Masalah dalil yang dipakai pun sama.

b.      Maturidiah Samarkand
            Kaum Maturidiah golongan Samarkand, karena menganut paham free will dan free act, serta adanya batasan bagi kekuasaan mutlak Tuhan, mempunyai posisi yang lebih dekat dengan kaum Mu’tazilah. Menurutnya, keadilan erat hubungannya dengan hak, dan keadilan diartikan member seseorang akan haknya. Kata-kata “Tuhan Adil” mengandung arti bahwa segala perbuatan-Nya adalah baik, bahwa Ia tidak dapat berbuat yang buruk, dan bahwa Ia tidak dapat mengabaikan kewajiban-kewajibanNya terhadap manusia (Nasution, 2012: 124).
            Aliran Maturidiah Samarkand menggaris bawahi makna keadilan Tuhan sebagai lawan dari perbuatan dhalim Tuhan terhadap manusia. Tuhan tidak akan membalas kejahatan kecuali dengan balasan yang seimbang dengan kejahatan itu. Tuhan tidak akan menganiaya hamba-hambaNya dan tidak akan mengingkari janji-janjiNya yng telah disampaikan kepada manusia (Husni, 2015: www.slideshare.net).  Abu Mansur Al-Maturidi Pandangan tersebut didasarkan atas firman Allah :
مَنْ جَاءَبِالْحَسَنَةِفَلَهُ عَشْرُ اَمْثَالِهَاوَمَنْ جَاءَبِالسَّيِّئَةِفَلَايُجْزَى اِلَّامِثْلَهَاوَهُمْ لَايُظْلَمُوْنَ
”Barang siapa berbuat kebaikan mendapat balasan sepuluh kali lipat amalnya. Dan barang siapa berbuat kejahatan dibalas seimbang dengan kejahatannya. Mereka sedikitpun tidak dirugikan (dizalimi)” (Q.S. Al-An’am [6] : 160)
رَبَّنَااِنَّكَ جَامِعُ النَّاسِ لِيَوْمٍ لَّارَيْبَ فِيْهِ اِنَّ اللهَ لَا يُخْلِفُ الْمِيْعَادَ
“Ya Tuhan kami, Engkaulah yang mengumpulkan manusia pada hari yang tidak ada keraguan padanya. Sungguh,Allah tidak menyalahi janji” (Q.S. Al-Imran [3] : 9)
            Ayat pertama ditafsirkan Al-maturidi dengan mengatakan bahwa Allah tidak membalas perbuatan jahat seseorang, kecuali dengan balasan yang setimpal dengan perbuatan jahatnya itu. Dan Allah tidak menyalahi janji-Nya serta menganiaya hambaNya, lanjut al-Maturidi dalam member tafsiran yang kedua.


B.     Kehendak Mutlak Tuhan
Sebagai akibat dari perbedaan paham yang terdapat dalam aliran-aliran teologi Islam mengenai kekuatan akal, fungsi wahyu dan kebebasan serta kekuasaan manusia, terdapat pula perbedaan paham tentang kehendak mutlak Tuhan. Bagi aliran yang berpendapat bahwa akal mempunyai daya besar dan manusia bebas dan berkuasa atas kehendak dan perbuatannya, kehendak mutlak Tuhan pada hakikatnya tidak lagi bersifat mutlak semutlak-mutlaknya. Bagi aliran yang berpendapat sebalinya, kehendak Tuhan tetap bersifat mutlak.
1.      Aliran Mu’tazilah
Menurut aliran Mu’tazilah, kekuasaan Tuhan bersifat tidak mutlak. Kekuasaan mutlak Tuhan telah dibatasi oleh kebebasan oleh kebebasan yang telah diberikan kepada manusia dalam menentukan kemauan dan perbuatan. Tuhan tidak bisa berbuat sekehendak-Nya, Tuhan telah terikat pada norma-norma keadilan yang kalau dilanggar, membuat Tuhan bersifat tidak adil bahkan dhalim. Kekuasaan dan kehendak mutlak Tuhan dibatasi oleh kewajiban-kewajiban Tuhan terhadap manusia, dan kekuasan mutlak itu dibatasi pula oleh hukum alam atau sunnah Allah (Nasution, 2012: 120).
Dengan demikian aliran Mu’tazilah memandang, bahwa yang menciptakan perbuatan adalah manusia sendiri. Tidak ada hubungannya dengan kehendak Tuhan, bahkan Tuhan menciptakan manusia sekaligus menciptakan kemampuan dan kehendak pada diri manusia (Husni, 2015: www.slideshare.net).
Mu’tazilah menguatkan pendapat mereka berdasarkan dalil aqli dan naqli. Secara aqli mereka menyatakan bahwa seandainya manusia tidak diberi potensi oleh Tuhan, maka ia tidak dibebani kewajiban. Sedangkan secara naqli mereka menguatkan dengan beberapa ayat Al-Quran, antara lain Q.S Al-Ahzab ayat 62 :
سُنَّةَاللهِ فىِ الَّذِيْنَ خَلَوْمِنْ قَبْلُ وَلَنْ تَجِدَ لِسُنَّةِاللهِ تَبْدِيْلاً
“Sebagai sunnah Allah yang (berlaku juga) bagi orang-orang yang telah terdahulu sebelum(mu), dan engkau tidak akan mendapati perubahan pada sunnah Allah”.
2.      Aliran Asy’ariyah
Tuhan menghendaki segala apa yang mungkin dikehendaki, manusia tidak dapat menghendaki sesuatu, kecuali jika Tuhan menghendaki manusia supaya menghendaki sesuatu itu (Nasution, 2012: 110). Tuhan menghendaki apa yang ada, dan tidak menghendaki apa yang tidak ada. Dengan perkataan lain apa yang ada artinya dikehendaki dan apa yang tidak ada artinya tidak dikehendaki, Karena keburukan ada, maka berarti Tuhan menghendakinya. Tuhan menghendaki kekafiran bagi manusia yang sesat dan menghendaki iman bagi manusia yang mendapat petunjuk. Aliran Al-Asy’ari memperkuat pendapatnya pada Q.S Al-An’am ayat 125 :
فَمَنْ يُرِدِاللهُ اَنْ يَهْدِيَهُ يَشْرَحْ صَدْرَهُ لِلْاِسْلَامِ وَمَنْ يُرِدْاَنْ يُّضْلَّهُ يَجْعَلْ صَدْرَهُ ضَيِّقاحَرَجاكَاَنَّمَا يَصَّعَّدُفِى السَّمَآءِ كَذَالِكَ يَجْعَلُ اللهُ الرِّجْسَ عَلَى الَّذِيْنَ لَايُؤْمِنُوْنَ
“Barang siapa dikehendaki Allah akan mendapat hidayah (petunjuk), Dia akan membukakan dadanya untuk (menerima) Islam. Dan barang siapa dikehendaki-Nya menjadi sesat, Dia jadikan dadanya sempit dan sesak, seakan-akan dia (sedang) mendaki ke langit. Demikianlah Allah menimpakan siksa kepada orang-orang yang tidak beriman”.
3.      Aliran Maturidiah
a.      Maturidiah Bukhara
Tuhan mempunyai kekuasaan mutlak, Tuhan berbuat apa saja yang dikehendaki-Nya dan menentukan segala-galanya menurut kehendak-Nya. Tidak ada yang dapat menentang atau memaksa Tuhan, dan tidak ada larangan-larangan terhadap Tuhan (Nasution, 2012: 121).
Tuhan mampu berbuat apa saja yang dikehendaki-Nya dan menentukan segala-galanya menurut kehendak-Nya. Oleh karena itu tidak ada kewajiban bagi Tuhan untuk berbuat jahat, dan tidak ada pula kewajiban bagi-Nya memberi pahala bagi orang yang berbuat baik. Semua yang dikerjakan manusia, baik, atau jahat, atas dasar kehendak-Nya semata.
b.      Maturidiah Samarkand
Menurut Harun Nasution (2012: 122) Maturidiah golongan Samarkand, tidaklah sekeras golongan Bukhara dalam mempertahankan kemutlakan kekuasaan Tuhan, tetapi tidak pula memberikan batasan sebanyak batasan yang diberikan Mu’tazilah bagi kekuasaan mutlak Tuhan. Batasan-batasan yang diberikan golongan Samarkand ialah :
·         Kemerdekaan dalam kemauan dan perbuatan menurut pendapat mereka, ada pada manusia.
·         Keadaan Tuhan menjatuhkan hukuman bukan sewenang-wenang, tetapi berdasarkan atas kemerdekaan manusia dalam mempergunakan daya yang diciptakan Tuhan dalam dirinya untuk berbuat baik atau berbuat jahat.
·         Keadaan hukuman-hukuman Tuhan, tak boleh tidak mesti terjadi.
Walaupun golongan ini mengidentifikasikan adanya kemerdekaan dan kemauan pada manusia, bukan berarti sama sekali menafikan kehendak Tuhan dalam diri manusia. Tuhan masih ikut campur juga dalam menentukan perbuatan manusia, yaitu dengan menciptakan daya yang terkandung dalam diri manusia. Untuk apa daya yang dikandungnya itu dipergunakan, itulah wujud kehendak manusia. Seperti memilih yang baik dan yang buruk. Dengan kata lain kebebasan kehendak manusia hanya merupakan kebebasan memilih antara yang disukai dan tidak disukai oleh Tuhan.

III.    Penutup
Pangkal persoalan kehendak mutlak dan keadilan Tuhan adalah keberadaan Tuhan sebagai pencipta alam semesta. Sebagai pencipta alam, Tuhan haruslah mengatasi segala yang ada, bahkan harus melampaui segala aspek yang ada. Ia adalah eksistensi yang mempunyai kehendak dan kekuasaan yang tidak terbatas karena tidak ada eksistensi lain yang mengatasi dan melampaui eksistensi-Nya. Inilah makna umum yang dianut aliran-aliran kalam dalam memahami tentang kekuasaan dan kehendak mutlak Tuhan (Rozak dan Anwar, 2007: 181).
Namun, aliran-aliran kalam mempunyai pandangan dan faham yang berbeda dalam memaknai keadilan Tuhan dalam pemikiran kalam. Perbedaan tersebut menyebabkan perbedaan penerapan makna keadilan, yang sama-sama disepakati mengandung arti meletakkan sesuatu pada tempatnya. Aliran kalam rasional yang menekankan kebebasan manusia cenderung memahami keadilan Tuhan dari sudut kepentingan. Sedangkan aliran kalam tradisional yang memberikan tekanan pada ketidakbebasan manusia di tengah kekuasaan dan kehendak mutlak Tuhan, cenderung memaknai keadilan Tuhan dari sudut Tuhan sebagai pemilik alam semesta.
Menurut Mu’tazilah, dasar keadilan ialah meletakkan pertanggungjawaban manusia atas segala perbuatannya. Tuhan tidak menghendaki keburukan, tidak mencipta perbuatan manusia, manusia bisa mengerjakan perintah-perintahNya dan meninggalkan larangan-laranganNya, karena Qodrat (kekuasaan) yang dijadikan Tuhan pada diri mereka. Ia tidak memerintah kecuali apa yang dikehendaki-Nya dan tidak melarang kecuali apa yang diperintahkan-Nya dan tidak tahu menahu (bebas) dari keburukan-keburukan yang dilarang-Nya (Hanafi, 1986: 43). Pendapat aliran Asy’ariyah tentang keadilan Tuhan didasarkan atas pikiran mereka tentang Iradah (kehendak)Nya. Menurutnya Tuhan mengadakan kebaikan dan keburukan dan menghendakinya pula. Mereka juga mengatakan, bahwa baik dan buruk adalah gambaran pikiran (I’tibariyah). Perbuatan-perbuatan sendiri tidak mempunyai sifat-sifat baik dan buruk. Sumber baik dan buruk adalah Syara’ semata-mata. Apa yang dikatakan syara’ baik dan diperintahkan adalah baik, sebaliknya apa yang dikatakan buruk dan dilarang adalah buruk. Jadi menurut mereka adanya baik dan buruk yang diadakan, tetapi tidak mengakui ada baik dan buruk yang berdiri sendiri (Hanafi, 1986: 145). Kaum Maturidiah golongan Bukhara mempunyai sikap yang sama dengan Asy’ariyah. Menurutnya, tidak ada tujuan yang mendorong Tuhan untuk menciptakan kosmos ini. Tuhan berbuat sekehendak hati-Nya. Keadaan Tuhan bersifat bijaksana tidaklah mengandung arti bahwa dibalik perbuatan-perbuatan Tuhan terdapat hikmat-hikmat. Dengan kata lain, alam tidak diciptakan Tuhan untuk kepentingan manusia (Nasution, 2012: 124). Kaum Maturidiah golongan Samarkand, karena menganut paham free will dan free act, serta adanya batasan bagi kekuasaan mutlak Tuhan, mempunyai posisi yang lebih dekat dengan kaum Mu’tazilah. Menurutnya, keadilan erat hubungannya dengan hak, dan keadilan diartikan member seseorang akan haknya. Kata-kata “Tuhan Adil” mengandung arti bahwa segala perbuatan-Nya adalah baik, bahwa Ia tidak dapat berbuat yang buruk, dan bahwa Ia tidak dapat mengabaikan kewajiban-kewajibanNya terhadap manusia (Nasution, 2012: 124).
Menurut aliran Mu’tazilah, kekuasaan Tuhan bersifat tidak mutlak. Kekuasaan mutlak Tuhan telah dibatasi oleh kebebasan oleh kebebasan yang telah diberikan kepada manusia dalam menentukan kemauan dan perbuatan. Tuhan tidak bisa berbuat sekehendak-Nya, Tuhan telah terikat pada norma-norma keadilan yang kalau dilanggar, membuat Tuhan bersifat tidak adil bahkan dhalim. Kekuasaan dan kehendak mutlak Tuhan dibatasi oleh kewajiban-kewajiban Tuhan terhadap manusia, dan kekuasan mutlak itu dibatasi pula oleh hukum alam atau sunnah Allah (Nasution, 2012: 120). Pendapat aliran Asy’ariyah mengenai kehendak mutlak Tuhan yaitu Tuhan menghendaki segala apa yang mungkin dikehendaki, manusia tidak dapat menghendaki sesuatu, kecuali jika Tuhan menghendaki manusia supaya menghendaki sesuatu itu (Nasution, 2012: 110). Menurut aliran Maturidiah Bukhara, Tuhan mempunyai kekuasaan mutlak, Tuhan berbuat apa saja yang dikehendaki-Nya dan menentukan segala-galanya menurut kehendak-Nya. Tidak ada yang dapat menentang atau memaksa Tuhan, dan tidak ada larangan-larangan terhadap Tuhan (Nasution, 2012: 121). Menurut Harun Nasution (2012: 122) Maturidiah golongan Samarkand, tidaklah sekeras golongan Bukhara dalam mempertahankan kemutlakan kekuasaan Tuhan, tetapi tidak pula memberikan batasan sebanyak batasan yang diberikan Mu’tazilah bagi kekuasaan mutlak Tuhan.






BIBLIOGRAFI
Hanafi, Ahmad. 1986. Theology Islam. Jakarta: Bulan Bintang
Rozak, Abdul., & Rosihan Anwar. 2012. Ilmu Kalam. Bandung: Pustaka Setia
Ahmad, Muhammad. 1998. Tauhid Ilmu Kalam. Bandung: Pustaka Setia.
Nasution, Harun. 1986. Teologi Islam. Jakart: UI-Press
Rozak, Abdul., & Rosihan Anwar. 2007. Ilmu Kalam. Bandung: Pustaka Setia.
Husni, Noviandy. Kehendak dan Keadilan Tuhan. www.slideshare.net, diakses 20 Mei 2012

Tidak ada komentar:

Posting Komentar